Life-Cycle of Norms

Posted: November 30, 2011 in norma

oleh Martha Finnemore dan Kathrin Sikkink.

 

Finnemore dan Sikkink menggambarkan bagaimana norma bisa muncul melalui the life-cycle of norms. Norma memiliki putaran yang terbagi ke dalam tiga tahap, yaitu norm emergence, norm cascade, dan internalisation. Tahap pertama, yaitu “norm emergence” atau kemunculan norma. Ada dua elemen penting dalam tahap ini: norm enterperenur dan organizatinal platform. Norm enterpreneurs merupakan agents yang memiliki ide dan gagasan yang kuat mengenai sikap yang tepat bagi komunitas mereka. Norm enterprenurs melakukan pengkajian terhadap keberadaan suatu isu, atau bahkan “membuat” isu dengan bahasa mereka, kemudian menginterpretasikan dan mendramatisir isu tersebut. Proses reinterpretasi ini diistilahkan dengan framing oleh para teoritisi social movements. Jika framing terhadap norma baru mulai tersebar secara luas ke dalam pemahaman publik dan diadopsi sebagai cara baru untuk membicarakan dan memahami sebuah isu, maka norm enterprenur perlu membuat framing yang koginitif.

Elemen kedua pada tahap pertama ini adalah organizational platform. Norm enterpreneur lebih sering menjadi bagian dari organisasi internasional yang memiliki tujuan dan agenda yang telah ditetapkan, daripada organisasi internasional yang memang secara khusus dibentuk untuk menyebarkan sebuah norma. Salah satu ciri yang menonjol dari organisasi modern dan sumber pengaruh yang penting bagi organisasi internasional adalah penggunaan keahlian dan informasi untuk mengubah perilaku aktor lain yang ada di dalam organisasi tersebut. Hal ini terletak pada sikap profesionalisme dan adanya sejumlah dokumen mengenai kajian empirik yang secara profesional bisa membantu atau bahkan mencegah munculnya norma baru dalam organisasi internasional. Pada kebanyakan kasus, emergence norm dapat mencapai tahap selanjutnya setelah norma-norma tersebut dilembagakan dalam serangkaian aturan dalam organisasi internasional.

Setelah norm enterprenur melakukan persuasif terhadap negara-negara agar menjadi norm leader dan mengadopsi norma baru, maka norma tersebut telah memasuki fase tipping point, yaitu sebuah fase sebelum memasuki tahap kedua dari life cycle norm. Pada fase ini, Finnemore dan Sikkink mengajukan dua hipotesa yang menunjukkan bahwa norma tersebut telah memasuki tipping point. Yang pertama, norm tipping jarang terjadi sebelum sepertiga dari total negara yang ada dalam sistem telah mengadopsi norma tersebut. Yang kedua adalah diadopsinya norma oleh critical state, yaitu negara yang memang berkompromi meskipun tanpa adanya penerimaan atas norma secara substansial.

Tahap kedua adalah norm cascades. Setelah fase tipping point dapat dicapai, dinamika yang berbeda mulai nampak dan lebih banyak negara yang mengadopsi norma meskipun tidak ada tekanan-tekanan domestik di dalam negara tersebut. Pada poin ini, Finnemore dan Sikkink menegaskan adanya pengaruh internasional ataupun regional, atau “penularan” dimana pengaruh norma yang berkembang di dunia internasional menjadi lebih penting daripada politik domestik yang dapat mempengaruhi norma. Mekanisme utama pada tahap ini adalah sosialisasi internasional yang aktif, yang diharapkan dapat mendorong norm breaker untuk menjadi norm followers. Bukan hanya negara, jaringan norm enterpreneur dan organisasi internasional juga bertindak sebagai agen sosialisasi dengan dua cara. Pertama adalah dengan cara menekan target untuk mengadopsi kebijakan dan hukum baru, meratifikasi perjanjian. Cara yang kedua adalah dengan memonitor pemenuhan terhadap standar internasional. Pada tahap ini, negara yang sudah mengadopsi norma terlebih dahulu disebut norm leader. Norm leader membujuk negara-negara lain untuk mengikuti norma yang ada.

Pada dasarnya, ada motif yang mendasari negara-negara untuk mengikuti norma sebagaimana yang dilakukan oleh norm leader. Menurut Finnemore dan Sikkink, ketundukan mereka terhadap norma dipengaruhi oleh alasan yang berhubungan dengan identitas mereka sebagai anggota dari kategori sosial tertentu, dimana sebagian anggotanya telah mengikuti norma tersebut. Ada tiga motivasi yang mungkin mendorong mereka untuk tunduk pada norma, yaitu: legitimasi, kesesuaian, dan penghormatan.

Legitimasi merupakan hal yang penting bagi negara, dan sumber legitimasi internasional memiliki peranan penting dalam membentuk perilaku negara. Inis claude, sebagaimana dikutip oleh Finnemore dan Sikkink, mengistilahkan organisasi internasional sebagai “pemberi label pada negara: menerima atau menolak” Ada biaya besar yang harus ditanggung oleh negara yang mendapat label sebagai “rogue state”. Negara tersebut akan kehilangan reputasi, kepercayaan dan kredibilitas mereka dalam dunia internasional. Selain itu, legitimasi merupakan hal penting dalam membangun persepsi domestik di mata warga negaranya. Warga negara akan memberikan penilaian kepada negaranya: apakah ia lebih baik daripada negara-negara lain atau tidak. Dalam memberikan penilaian ini, warga negara akan memperhatikan sikap negara-negara lain (di tingkat internasional atau pun regional) dan melihat apa yang negara lain katakan tentang negara mereka.

Sedangkan kesesuaian dan penghormatan meliputi bentuk penilaian dalam hubungan antarnegara dalam suatu komunitas. Menurut Axelrod, sebagaimana dikutip oleh Finnemore dan Sikkink, kesesuaian merupakan “bukti sosial”, negara mengikuti norma untuk menunjukkan bahwa mereka telah beradaptasi dan menjadi bagian dari lingkungan sosial. Penghormatan berhubungan dengan legitimasi dan kesesuaian, namun sifatnya lebih dalam karena motif penghormatan mengindikasikan bahwa pemimpin negara terkadang mengikuti norma yang ada agar dinilai baik oleh negara lain, dan mereka ingin beranggapan baik terhadap diri mereka sendiri.

Tahap ketiga dari the life-cycle of norms adalah internalization, yaitu tahap dimana norma yang telah disosialisasikan telah diterima dan telah mencapai tahapan taken for granted. Dengan demikian, norma tersebut tidak diperdebatkan lagi oleh komunitas internasional. Sejumlah studi empirik menegaskan tingginya peran para ahli pembuat kebijakan dalam internalisasi norma. Hal ini dikarenakan posisi mereka sebagai pihak yang memiliki kekuasaan dan mampu menembus anggota-anggotanya. Mekanisme yang berlangsung pada tahap terakhir ini adalah perilaku dan kebiasaan. Ketika sebuah perilaku menjadi kebiasaan, kemudian diinternalisasikan. Perilaku yang sudah diinternalisasi, pada gilirannya, akan mempengaruhi perubahan diantara anggota-anggota yang lain. Perubahan yang dimaksud adalah berubahnya identitas dan norma sebagai bentuk empati dan identifikasi. Hal yang paling mendasar dalam mekanisme ini adalah “persuasi diri” dan perselisihan kognitif. Dalam sebuah penelitian mengenai peran dan perselisihan kognitif ditemukan bahwa orang akan percaya apa yang mereka katakan, dan akan berupaya untuk menyelaraskannya dengan perilakunya. Jika diaplikasikan ke dalam suatu bentuk kolektif, maka ditemukan peran standard operating procedures (SOP) di sebuah organisasi, yang secara fungsional merupakan suatu kebiasaan, dan menghasilkan out put yang konsisten.

 

Leave a comment