Suksesi Politik

Posted: November 30, 2011 in pemilihan presiden

Suksesi dalam pengertiannya dipandang sebagai proses perubahan sosial politik dalam pengertian yang luas. Suksesi berkaitan dengan sistem pembagian otoritas yang mengakibatkan timbulnya dua macam kategori sosial di dalam masyarakat. Yakni mereka yang menduduki sebagai pemenang otoritas, yang baik secara substansial maupun arahnya berlawanan satu sama lain dalam mencapai kepentingannya.[1]

Sedangkan proses peralihan kewenangan atau suksesi itu sendiri terdapat tiga cara. Yang pertama, secara turun temurun. Artinya bahwa peralihan suatu jabatan atau kewenangan yang dialihkan kepada keturunan atau keluarga pemegang jabatan terdahulu, hal ini biasanya terjadi pada pemerintahan otokrasi tradisional. Kedua, secara paksa yaitu jabatan atau kewenangan yang terpaksa dialihkan kepada orang lain tidak menurut prosedur yang sudah disepakati, melainkan dengan kekerasan seperti kudeta dan revolusi. Ketiga, secara pemilihan yaitu dilakukan secara langsung melalui badan perwakilan rakyat.[2]

Dalam bukunya Suksesi dan Keajaiban Kekuasaan, Amien Rais mengemukakan bahwa terdapat lima alasan mengapa harus terjadi sebuah suksesi dalam sistem kekuasaan negara.[3] Alasan-alasan tersebut antara lain :

1)      Penguasa yang terlalu lama berkuasa akan cenderung melakukan tindak korupsi

2)      Pimpinan nasional yang terlalu lama berkuasa akan melahirkan kultus individu ( the cult of individual ), yang mana hal ini akan mengabaikan rasionalisme manusia

3)      Suksesi, rotasi, atau regenerasi elit adalah sebuah keharusan dalam sebuah sistem demokrasi yang ditandai dengan tingginya partisipasi rakyat dalam menentukan kedudukan seorang pemimpin ataupun pengambilan keputusan atau kebijakan negara

4)      Kelompok elit yang terlalu lama memegang kekuasaan cenderung kehilangan misi ataupun kreativitas

5)      Sebuah lapisan yang sudah lama memegang kekuasaan secara perlahan akan meyakini bahwa dirinya adalah personifikasi stabilitas dan eksistensi negara.

 

Suksesi politik sendiri memiliki kaitan yang erat dengan krisis legitimasi. Bentuk konkrit dari hal ini adalah fenomena penurunan kepercayaan rakyat terhadap suatu pemimpin bisa berdampak pada perubahan politik. Yang dimaksudkan dengan legitimasi disini adalah legitimasi dari pemerintahan yang sebelumnya. Apabila tingkat legitimasi rendah, maka sebuah suksesi politik akan mudah terjadi. Begitu juga sebaliknya, apabila tingkat legitimasi tinggi maka sebuah suksesi politik akan sulit terjadi karena dukungan masyarakat pada pemerintah besar. Dalam ilmu politik, legitimasi diartikan seberapa jauh masyarakat mau menerima dan mengakui kewenangan, keputusan atau kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin.[4]Pada intinya legitimasi merupakan kepatuhan dari yang diperintah terhadap yang memerintah. Legitimasi ini merupakan wujud dukungan sukarela terhadap suatu pemimpin atau pemerintahan. Dalam konteks legitimasi ini, hubungan antara pemimpin dan masyarakat yang dipimpin lebih ditentukan oleh keputusan masyarakat untuk menerima atau menolak kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin.

Muthiah Alagappa mengidentifikasikan elemen-elemen legitimasi menjadi 4 hal, antara lain:[5]

  1. Shared Norms and Values

Shared norms and values can be interpreted as normative regulation of society on the basis of universal consensus. As internalized moral values can exert a powerful impact on the determination of goals and the means to achieve them, institutionalization of such values in society through a central value system contributes to social cohesion, which from the perspective of this study, in turn leads to agreement on the rules governing the acquisition of state power and it use.

 

( Nilai dan norma bersama dapat diartikan sebagai peraturan normatif masyarakat yang berdasar pada kesepakatan umum. Sebagai nilai moral yang terinternalisasi dapat menghasilkan sebuah pengaruh yang kuat pada penentuan tujuan-tujuan dan alat untuk mewujudkannya, institusionalisasi dari nilai-nilai seperti itu dalam masyarakat melalui sebuah sistem nilai yang utama membantu kohesi sosial, di mana dari perspektif kajian ini, pada gilirannya membawa ke arah kesepakatan pada aturan yang mengatur perolehan kekuasaan dan penggunaanya).

 

  1. Conformity with Established Rules

A government that acquires power by conforming with such provisions will be viewed as legitimate: one that disregard them will be viewed as illegitimate. Although the situation is not always clear-cut, by and large the legitimacy of a government can be judged by widely recognized rules and standards.

 

( Sebuah pemerintah yang mendapatkan kekuasaan melalui kesesuaian dengan ketetapan tertentu akan dilihat sebagai sesuatu yang legitimate. Siapapun yang tidak menghormatinya akan dilihat sebagai pelanggaran. Walaupun situasinya tidak selalu jelas, besar kecil legitimasi dari sebuah pemerintah dapat dikenali melalui peraturan dan standart yang dikenal dengan luas).

 

  1. Proper Use of Power

There ate two aspects to the proper use of power. The first is government operating within the law or other tacitly accepted rules and procedures; the second is the effective use of power to promote the collective interest of the community-that is, performance. Although it has received less attention, the criterion of government operating within the law is a prerequisite for the continued legitimacy of governments deriving their authority from conformity with well established rules.

 

( Ada dua aspek dalam ketepatan penggunaan kekuasaan. Pertama adalah pemerintah berjalan dalam koridor undang-undang atau peraturan dan prosedur lain yang diterima secara luas; kedua adalah penggunaan kekuasaan yang efektif untuk mempromosikan kepentingan bersama dari komunitas yaitu, penampilan politiknya. Walaupun kekuasaan kurang mendapatkan perhatian, kriteria pemerintah yang berjalan dalam koridor undang-undang adalah sebuah prasyarat untuk legitimasi pemerintah yang berkelanjutan yang mendapatkan wewenangnya dari kesesuaian dengan peraturan yang telah berlaku).

 

  1. Consent of the Governed

Consent is given by individuals. In the political realm to give consent is to recognize the government right to issue commands and to assume a duty to obey them. Duty-bound obedience should be distinguished from instrumental acceptance. The commitment to obey is based on rewards. In practice it may be difficult to separate the two. Further, instrumental acceptance over the long term may become duty-bound obedience.


( Persetujuan diberikan oleh individu-individu. Dalam bidang politik, memberikan persetujuan adalah untuk mengakui hak pemerintah dalam memunculkan perintah dan menerima kewajiban untuk mentaatinya. Ketaatan pada tugas harus dibedakan dari penerimaan instrumental. Komitmen untuk patuh adalah berdasar pada ganjaran. Dalam prakteknya, itu mungkin sulit untuk memisahkan keduanya. Lebih jauh, penerimaan instrumental dalam jangka waktu lama mungkin menjadi kepatuhan yang wajib).

 


[1] Nasikun, Sistem Sosial Indonesia. hal.18

[2] Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. 1992), hal.69

[3] Amien Rais, Suksesi dan Keajaiban Kekuasaan. ( Jakarta: Pustaka Pelajar, 1997) hal.13

[4] “Legitimasi”, http://id.wikipedia.org/wiki/Legitimasi, diakses tanggal 2 Januari 2008

[5] Muthiah Alagappa, Political Legitimacy in Southeast Asia : The Quest for Moral Authority. (Princeton : University Press, 1995), hal.15-24

[6] “Presiden Ekuador Jatuh”, http://www.korantempo.com/news/2005/4/23/Internasional/40.html, diakses tanggal 1 Mei 2008

[7]Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hal.84-85

[8]“Correa Unggul di Pemilu Ekuador: Rakyat Inginkan Perubahan Radikal”, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0611/28/In/3130277.htm, diakses tanggal 30 September 2007

[9] Robert A. Dahl. Modern Political Analysis. (New Jersey: Prentice Hall, 1991), hal.35

[10] “President Vows to Help Galapagos Islands At Risk”, http://www.ensnewswire.com/ens/apr2007/2007-04-16-03-aspuador`s, diakses tanggal 27 Juni 2008

[11] Bonnie Setiawan, “Trend“kiri”di Amerika Latin Perlu Dicontoh”, http://www.globaljust.org/gju_detail.php?id=90, diakses tanggal 10 Oktober 2007

[12] Tentang definisi partaiokrasi dapat dilihat di halaman 4

[13] “Rafael Correa Juga Membuka Mata Kita”, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0611/28/In/3130277.html, diakses tanggal 1 November 2007

Localization

Posted: November 30, 2011 in norma

oleh Amitav Archarya

Acharya mengajukan pemikiran mengenai penyebaran norma-norma internasional dan bagaimana negara dunia ketiga mengadopsi norma-norma tersebut. Masalah penyebaran norma dalam politik dunia tidak hanya mengenai apakah dan bagaimana ide itu muncul, tapi juga terkait dengan ide yang mana dan ide siapa. Para ahli konstruktivis mengenai norma cenderung fokus pada masalah transformasi moral, bagaimana norma global yang “baik” lebih bisa diadopsi daripada sikap dan kepercayaan lokal yang “buruk”.

Acharya memfokuskan kajiannya pada localization. Menurutnya, localization merupakan sebuah konstruksi aktif (melalui wacana, pembingkaian, grafting dan pemilihan budaya) dari ide-ide internasional oleh aktor lokal, yang disebabkan oleh upaya membentuk kesesuaian yang signifikan dengan kepercayaan dan praktik lokal.  Dari pengertian tersebut, pertanyaan yang muncul adalah mengapa aktor lokal me-localize norma-norma internasional. Menurut Amitav, ada beberapa faktor mengapa aktor lokal melakukan localization terhadap norma-norma internansional. Pertama, karena adanya keyakinan dari aktor lokal bahwa norma-norma tersebut bisa digunakan untuk meningkatkan legitimasi dan kewenangan terkait dengan eksistensi mereka, tapi tanpa mengubah identitas sosial mereka yang sudah ada. Dalam tulisannya yang berjudul “How Ideas Spread: Whose Norms Matter? Norm Localization and Institutional Change in Asian Regionalism”, dengan merujuk pada pandangan Cortell dan Davis, Amitav menegaskan bahwa aktor menggunakan rules dalam dunia internasional untuk membenarkan tindakan mereka dan melegitimasi eksistensi mereka.

Alasan kedua adalah kekuatan norma-norma lokal sebelumnya. Beberapa norma lokal merupakan suatu asas kelompok. Norma-norma tersebut bisa saja berasal dari budaya dan praktik yang sudah berurat ada atau bisa saja dari norma-norma internasional yang telah dilegalkan dalam dokumen internasional. Dalam satu kondisi, norma telah menjadi bagian integral dari identitas lokal, dimana norma-norma tersebut telah membentuk identitas dan kepentingang aktor, dan tidak serta merta membentuk perilaku aktor. Semakin kuat local norms, maka semakin besar kemungkinan terjadinya localization terhadap norma internasional baru.

Alasan ketiga adalah adanya aktor yang memiliki kredibilitas dengan pengaruh yang cukup untuk melakukan penyesuaian dengan norma-norma yang berlaku pada tingkat global. Kredibilitas aktor lokal bergantung pada konteks sosial dan kedudukan mereka. Para pelaksana norma lokal nampaknya akan menjadi lebih kredibel jika sang audiences menganggap mereka sebagai penegak nilai-nilai dan identitas lokal bukan sebagai agents yang mendapatkan tekanan dari pihak lain, serta sebagai bagian dari komunitas epistemik lokal yang bisa melakukan klaim atas keberhasilan-keberhasilan dalam perdebatan normativ. Alasan keempat lebih terletak pada perasaan identitas yang dimiliki norm-takers yang menempatkan localization, khususnya ketika mereka memiliki perkembangan yang unik dalam hal nilai-nilai dan interaksi mereka. Sehingga memunculkan kondisi dimana aktor lokal mau tidak mau mengadopsi norma internasional secara keseluruhan dan harus mengembangkan sebuah kebiasaan terhadap norma internasional tersebut.

Gambar 1.1 Respon terhadap Norma Transnasional

Sumber: Amitav Archarya, How Ideas Spread: Whose Norms Matter? Norm Localization and Institutional Change in Asian Regionalism, dalam International Organization 58, 2004, hal. 254

Gambar 1.1 menunjukkan tiga bentuk utama dari respon lokal terhadap norma transnasional. Yang pertama adalah resistance, tidak ada tugas dan instrumen baru yang dibuat, target norm[1] dan istitusi yang ada masih tetap dipertahankan. Jika terlalu banyak bentuk resisten, maka akan berpotensi terhadap gagalnya transmisi norma. Respon kedua yaitu localization yang ditandai dengan adanya respon dari institusi yang ada terhadap ide internasional baik secara fungsional atau dengan perluasan anggota dan membuat instrumen kebijakan baru untuk mengejar tugas atau tujuan barunya tanpa mengubah tujuan semula. Norm hierarchy[2] masih ada dan tidak dirubah. Pada respon kedua ini, institusi yang ada masih dipertahankan, meskipun ada kemungkinan munculnya institusi baru yang menyerupai institusi yang ada. Respon ketiga adalah norm displacement. Pada bentuk respon ini, ada tugas dan instrumen baru yang dibentuk, target norm dan norm hierarchy tidak lagi dipertahankan. Bagian ini juga ditandai dengan munculnya institusi baru yang sama sekali berbeda dengan institusi sebelumnya atau berubahnya institusi yang ada secara signifikan sehingga terlihat berbeda dari karakter sebelumnya.


[1] Target norm merupakan norma yang lebih terdahulu muncul yang ingin “dilemahkan” atau bahkan ditiadakan oleh norm enterpreneur.

[2] Norm hierarchy merupakan target norm yang menonjol dalam hubungannya dengan core norms lainnya di dalam institusi terkait.

Life-Cycle of Norms

Posted: November 30, 2011 in norma

oleh Martha Finnemore dan Kathrin Sikkink.

 

Finnemore dan Sikkink menggambarkan bagaimana norma bisa muncul melalui the life-cycle of norms. Norma memiliki putaran yang terbagi ke dalam tiga tahap, yaitu norm emergence, norm cascade, dan internalisation. Tahap pertama, yaitu “norm emergence” atau kemunculan norma. Ada dua elemen penting dalam tahap ini: norm enterperenur dan organizatinal platform. Norm enterpreneurs merupakan agents yang memiliki ide dan gagasan yang kuat mengenai sikap yang tepat bagi komunitas mereka. Norm enterprenurs melakukan pengkajian terhadap keberadaan suatu isu, atau bahkan “membuat” isu dengan bahasa mereka, kemudian menginterpretasikan dan mendramatisir isu tersebut. Proses reinterpretasi ini diistilahkan dengan framing oleh para teoritisi social movements. Jika framing terhadap norma baru mulai tersebar secara luas ke dalam pemahaman publik dan diadopsi sebagai cara baru untuk membicarakan dan memahami sebuah isu, maka norm enterprenur perlu membuat framing yang koginitif.

Elemen kedua pada tahap pertama ini adalah organizational platform. Norm enterpreneur lebih sering menjadi bagian dari organisasi internasional yang memiliki tujuan dan agenda yang telah ditetapkan, daripada organisasi internasional yang memang secara khusus dibentuk untuk menyebarkan sebuah norma. Salah satu ciri yang menonjol dari organisasi modern dan sumber pengaruh yang penting bagi organisasi internasional adalah penggunaan keahlian dan informasi untuk mengubah perilaku aktor lain yang ada di dalam organisasi tersebut. Hal ini terletak pada sikap profesionalisme dan adanya sejumlah dokumen mengenai kajian empirik yang secara profesional bisa membantu atau bahkan mencegah munculnya norma baru dalam organisasi internasional. Pada kebanyakan kasus, emergence norm dapat mencapai tahap selanjutnya setelah norma-norma tersebut dilembagakan dalam serangkaian aturan dalam organisasi internasional.

Setelah norm enterprenur melakukan persuasif terhadap negara-negara agar menjadi norm leader dan mengadopsi norma baru, maka norma tersebut telah memasuki fase tipping point, yaitu sebuah fase sebelum memasuki tahap kedua dari life cycle norm. Pada fase ini, Finnemore dan Sikkink mengajukan dua hipotesa yang menunjukkan bahwa norma tersebut telah memasuki tipping point. Yang pertama, norm tipping jarang terjadi sebelum sepertiga dari total negara yang ada dalam sistem telah mengadopsi norma tersebut. Yang kedua adalah diadopsinya norma oleh critical state, yaitu negara yang memang berkompromi meskipun tanpa adanya penerimaan atas norma secara substansial.

Tahap kedua adalah norm cascades. Setelah fase tipping point dapat dicapai, dinamika yang berbeda mulai nampak dan lebih banyak negara yang mengadopsi norma meskipun tidak ada tekanan-tekanan domestik di dalam negara tersebut. Pada poin ini, Finnemore dan Sikkink menegaskan adanya pengaruh internasional ataupun regional, atau “penularan” dimana pengaruh norma yang berkembang di dunia internasional menjadi lebih penting daripada politik domestik yang dapat mempengaruhi norma. Mekanisme utama pada tahap ini adalah sosialisasi internasional yang aktif, yang diharapkan dapat mendorong norm breaker untuk menjadi norm followers. Bukan hanya negara, jaringan norm enterpreneur dan organisasi internasional juga bertindak sebagai agen sosialisasi dengan dua cara. Pertama adalah dengan cara menekan target untuk mengadopsi kebijakan dan hukum baru, meratifikasi perjanjian. Cara yang kedua adalah dengan memonitor pemenuhan terhadap standar internasional. Pada tahap ini, negara yang sudah mengadopsi norma terlebih dahulu disebut norm leader. Norm leader membujuk negara-negara lain untuk mengikuti norma yang ada.

Pada dasarnya, ada motif yang mendasari negara-negara untuk mengikuti norma sebagaimana yang dilakukan oleh norm leader. Menurut Finnemore dan Sikkink, ketundukan mereka terhadap norma dipengaruhi oleh alasan yang berhubungan dengan identitas mereka sebagai anggota dari kategori sosial tertentu, dimana sebagian anggotanya telah mengikuti norma tersebut. Ada tiga motivasi yang mungkin mendorong mereka untuk tunduk pada norma, yaitu: legitimasi, kesesuaian, dan penghormatan.

Legitimasi merupakan hal yang penting bagi negara, dan sumber legitimasi internasional memiliki peranan penting dalam membentuk perilaku negara. Inis claude, sebagaimana dikutip oleh Finnemore dan Sikkink, mengistilahkan organisasi internasional sebagai “pemberi label pada negara: menerima atau menolak” Ada biaya besar yang harus ditanggung oleh negara yang mendapat label sebagai “rogue state”. Negara tersebut akan kehilangan reputasi, kepercayaan dan kredibilitas mereka dalam dunia internasional. Selain itu, legitimasi merupakan hal penting dalam membangun persepsi domestik di mata warga negaranya. Warga negara akan memberikan penilaian kepada negaranya: apakah ia lebih baik daripada negara-negara lain atau tidak. Dalam memberikan penilaian ini, warga negara akan memperhatikan sikap negara-negara lain (di tingkat internasional atau pun regional) dan melihat apa yang negara lain katakan tentang negara mereka.

Sedangkan kesesuaian dan penghormatan meliputi bentuk penilaian dalam hubungan antarnegara dalam suatu komunitas. Menurut Axelrod, sebagaimana dikutip oleh Finnemore dan Sikkink, kesesuaian merupakan “bukti sosial”, negara mengikuti norma untuk menunjukkan bahwa mereka telah beradaptasi dan menjadi bagian dari lingkungan sosial. Penghormatan berhubungan dengan legitimasi dan kesesuaian, namun sifatnya lebih dalam karena motif penghormatan mengindikasikan bahwa pemimpin negara terkadang mengikuti norma yang ada agar dinilai baik oleh negara lain, dan mereka ingin beranggapan baik terhadap diri mereka sendiri.

Tahap ketiga dari the life-cycle of norms adalah internalization, yaitu tahap dimana norma yang telah disosialisasikan telah diterima dan telah mencapai tahapan taken for granted. Dengan demikian, norma tersebut tidak diperdebatkan lagi oleh komunitas internasional. Sejumlah studi empirik menegaskan tingginya peran para ahli pembuat kebijakan dalam internalisasi norma. Hal ini dikarenakan posisi mereka sebagai pihak yang memiliki kekuasaan dan mampu menembus anggota-anggotanya. Mekanisme yang berlangsung pada tahap terakhir ini adalah perilaku dan kebiasaan. Ketika sebuah perilaku menjadi kebiasaan, kemudian diinternalisasikan. Perilaku yang sudah diinternalisasi, pada gilirannya, akan mempengaruhi perubahan diantara anggota-anggota yang lain. Perubahan yang dimaksud adalah berubahnya identitas dan norma sebagai bentuk empati dan identifikasi. Hal yang paling mendasar dalam mekanisme ini adalah “persuasi diri” dan perselisihan kognitif. Dalam sebuah penelitian mengenai peran dan perselisihan kognitif ditemukan bahwa orang akan percaya apa yang mereka katakan, dan akan berupaya untuk menyelaraskannya dengan perilakunya. Jika diaplikasikan ke dalam suatu bentuk kolektif, maka ditemukan peran standard operating procedures (SOP) di sebuah organisasi, yang secara fungsional merupakan suatu kebiasaan, dan menghasilkan out put yang konsisten.

 

Konstruktifis

Posted: November 30, 2011 in Konstruktivis

oleh Nicholas Onuf

Menurut Onuf, konstruktivis berkisar pada tiga konsep yang saling terkait, yaitu speech act, perbuatan, dan rules.[1] Dasar pemikiran Onuf menyatakan bahwa manusia membangun realita melalui perbuatan mereka, yang bisa berupa tindakan nyata atau dalam bentuk speech act. Pada gilirannya, setelah dilakukan berulang kali, perbuatan tersebut akan membentuk rules yang menjadi konteks dan dasar untuk memaknai perilaku manusia. Dunia merupakan hasil konstruksi para aktor. Dengan kata lain, dunia sosial sangat beragam karena dibentuk oleh aktor dan struktur yang berbeda-beda pula.[2]

Aktor membentuk hubungan sosial dan hubungan sosial membentuk aktor. Hal ini merupakan dua proses yang berkesinambungan dan sikap aktor akan memiliki “makna” karena hubungan sosial yang dimiliki. Oleh karena itu, untuk mengkaji pola ini, Onuf menawarkan elemen ketiga yang selalu berkaitan dengan kedua elemen di atas, yaitu rules. Rules merupakan pernyataan tentang apa yang seharusnya  kita lakukan. Apa merupakan bentuk standar bagi perilaku aktor pada situasi-situasi yang bisa diketahui serupa dan bisa dilakukan. Seharusnya adalah menuntun penyesuaian perilaku dengan standar tersebut. Adanya rules memungkinkan terciptanya pemaknaan bersama.[3] Dengan kata lain, jika aktor tidak memahami apa maksud yang terkandung dalam rules, maka aktor bisa “meraba-rabanya” dengan memperhatikan perilaku aktor lain yang ada di dalam hubungan sosial yang sama. Hanya dengan mengamati apa yang dilakukan setiap aktor, aktor lain akan tahu apa yang sebenarnya disampaikan oleh rules.

Rules memberikan pilihan-pilihan pada aktor-aktor yang terlibat di dalamnya (agents). Pilihan yang paling mendasar adalah: mengikuti rules atau tidak. Rules menjadi petunjuk bagi sikap aktor sehingga memungkinkan terciptanya kesepahaman bersama mengenai suatu tindakan yang tepat. Dalam proses menentukan pilihan aktor, rules memberi peluang kepada agents untuk mempengaruhi rules karena: (1) setiap kali agents memilih untuk mengikuti rules, mereka akan mempengaruhi dengan memperkuat rules tersebut, sehingga mereka dan yang lain akan mengikuti rules tersebut; dan (2) setiap kali agents memilih untuk tidak mengikuti rules, maka mereka akan mempengaruhi rules dengan memperlemahnya, dari kondisi ini, tidak menutup kemungkinan munculnya rules baru.[4]

Rules merupakan kunci utama pemikiran Onuf mengenai politik. Menurut Onuf, masyarakat politik memiliki dua ciri umum yaitu: (1) selalu ada rules yang membuat perilaku aktor menjadi bermakna, dan (2) rules selalu memunculkan ketimpangan keuntungan antar aktor. Dengan demikian, rules selalu berkaitan dengan keunggulan dan hal-hal yang bersifat normatif. Hubungan sosial didasarkan pada rules; politik selalu membentuk hubungan sosial asimetrik yang terbentuk karena rules. Yang terpenting bahwa apa yang dilakukan aktor tidak selalu ditautkan dengan adanya rules; tindakan tersebut juga bisa membentuk rules, yang lebih umum lagi, bisa membentuk dunia, dan melalui rules memungkinkan terciptanya pemahaman bersama yang bersifat normatif.

Masih terkait dengan konstruksi sosial, Onuf menekankan pentingnya speech acts. Speech acts merupakan sebuah bentuk tindakan berbicara (speech) agar orang lain bertindak (act). Onuf menyatakan bahwa speech acts merupakan bentuk performa sosial yang memiliki konsekuensi sosial secara langsung. Salah satu bentuk umum dari speech acts misalnya: dengan ini saya (kami, kita dan lain-lain) menyatakan/meminta/berjanji kepada semua yang mendengarkan bahwa hubungan antarnegara ada atau dapat dilakukan. Aktor lain akan merespon speech acts tersebut dengan cara mereka sendiri, tidak selalu dengan ucapan. Pola antara speech acts dan respon merupakan sebuah praktik yang membuat kondisi-kondisi material dari pengalaman tiap aktor mejadi bermakna. Lebih spesifik lagi, pola speech acts akan memberikan suatu bentuk normatif terhadap praktik sang aktor.[5] Oleh karena itu, bentuk speech acts akan membentuk sebuah norma bagi perilaku aktor.

            Onuf memberikan tiga bentuk speech acts yaitu: asertif, direktif, dan komisif. Asertif merupakan pernyataan mengenai suatu kepercayaan, dimana sang aktor mengharapkan audience menerimanya. Direktif merupakan sikap dimana sang aktor mengharapkan audiences melakukan hal yang sama. Sedangkan komisif merupakan sebuah pernyataan mengenai komitmen aktor terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, bentuk asertif akan menghasilkan rules bagi speakers, sedangkan direktif dan komisif berusaha menanamkan rules kepada audience.[6] Dengan demikian, munculnya norms tidak hanya tergantung pada tindakan nyata para aktor terhadap rules, tetapi juga pada speech acts aktor.


[1] Maja Zehfuss, Constructivism in International Relations: the Politics of Reality, (Cambridge University Press, Cambridge, 2000) hal.151

[2] Ibid.

[3] Ibid. hal. 151 – 152.

[4] Ibid., hal.152.

[5] Ibid. hal.153

[6] Ibid. hal.154

[7] Penjabaran tentang life-cycle of norms, penulis sadur dari artikel Martha Finnemore dan Kathrin Sikkink yang berjudul International Norm Dynamics and Political Change dalam International Organization 52, hal. 887 – 917.

Offensive Realism

Posted: November 30, 2011 in Realisme

oleh John J. Mearsheimer.[1]

 

Dalam bukunya yang berjudul The Tragedy of Great Powers Politics, Mearsheimer menyatakan bahwa motif utama yang melatarbelakangi perilaku dari setiap great power[2] adalah keberlangsungan hidup. Lebih lanjut Mearsheimer mengemukakan bahwa pada lingkungan internasional yang anarkis, keinginan untuk bertahan hidup mendorong negara-negara untuk bertindak dengan agresif. Mearsheimer menolak untuk menggolongkan negara sebagai negara yang agresif dan tidak agresif didasarkan atas perbedaan sistem ekonomi dan politik mereka. Teorinya tentang hubungan antar great power – yang dia sebut offensive realism – menyatakan bahwa hanya sedikit asumsi mengenai perilaku great power dan asumsi-asumsi tersebut berlaku sama untuk semua great power.[3]

Offensive realism menentang dua teori realis lain tentang hubungan antar great power yang selama ini ada, yaitu classical realism, yang dikemukakan oleh Hans J. Morgenthau dalam Politics Among Nations dan defensive realism, yang dikemukakan oleh Kenneth Waltz dalam Theory of International Politics. Offensive realism memiliki pandangan berbeda dengan classical realism serta defensive realism dalam beberapa hal yang dengan sederhana dapat dilihat dalam tabel berikut dengan menggunakan beberapa parameter perbandingan:

Tabel 1.1 : Perbandingan Classical Realism dan Structural Realism

Classical Realism

Structural Realism

Offensive Realism

Defensive Realism

Phenomena explained State policy and behaviour International Outcomes and modes of behaviour International Outcomes and modes of behaviour
Level of analysis State System System
Unit-level attributes Differences such as geography, technology, knowledge, status quo states and revisionist state No difference accross states No difference accross states
Power Means and not an end; maintain offensive/defensive balance Means and end, maximize power Means, not an end; seek sufficient power
Conclusion about state behaviour Expansion Seek hegemonic power Enlighted national interest; maintain the balance of power

 

Sumber : Liu Feng and Zhang Ruizhuang. “The Typologies of Realism” dalam http://www.irchina.org/en/pdf/liu&zhang.pdf, diakses tanggal 15 Februari 2010.

 

Dalam tabel 1.1 ditunjukkan beberapa perbedaan mendasar antara classical realism dan structural realism (offensive dan defensive). Perbedaan pertama terletak pada fenomena yang dijelaskan (phenomena explained). Bagi classical realism fenomena utama yang dijelaskan adalah tentang perilaku dan kebijakan negara (state policy and behaviour) untuk mempertahankan serta memperjuangkan kepentingan negaranya tanpa dipengaruhi oleh struktur internasional ataupun perbedaan perilaku dari negara-negara dalam sistem. Berbeda dengan structural realism (offensive dan defensive) yang menganggap bahwa fenomena utama yang harus dijelaskan adalah adanya pengaruh dari sistem terhadap negara dan berbagai model dari perilaku negara (international outcomes and modes of behaviour).

Perbedaan kedua terletak pada tingkatan analisis (level of analysis). Classical realism memiliki pandangan bahwa negara (state) merupakan tingkatan awal yang harus dianalisis. Sebab negara merupakan awal munculnya kebijakan dan negara yang memiliki kepentingan. Sedangkan menurut structural realism (offensive dan defensive) tingkatan analisis utama yang harus dianalisis adalah sistem (system) sebab perlikaku dan kebijakan negara oleh structural realism dianggap dipengaruhi oleh sistem yang berlaku.

Perbedaan ketiga antara classical realism dan structural realism (offensive dan defensive) adalah dalam cara memandang apakah masing-masing negara memiliki perbedaan atau tidak dalam kemampuannya mencapai kepentingannya. Classical realism menganggap bahwa di tiap-tiap negara terdapat perbedaan yang dapat mempengaruhi perilaku dan kebijakan negara tersebut. Perbedaan tersebut dapat berupa kondisi geografis, penguasaan tekhnologi, ilmu pengetahuan serta negara tersebut termasuk status quo state atau revisionist state. Sedangkan bagi structural realism (offensive dan defensive) setiap negara dipandang memiliki perilaku, kebijakan serta kepentingan yang sama. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa setiap negara memiliki kepentingan yang sama untuk bertahan hidup sehingga memaksa setiap negara untuk dapat berkompetisi dengan negara yang lainnya.

Yang keempat adalah perbedaan dalam mengukur tingkat power.[4] Classical realism menganggap power sebagai sarana untuk mencapai tujuan namun bukan merupakan tujuan akhir negara serta setiap negara berusaha mendapat power untuk tercapainya keseimbangan offence/defence. Offensive realism beranggapan bahwa power merupakan sarana pencapaian kepentingan, merupakan tujuan akhir serta power harus didapatkan semaksimal mungkin. Sedang defensive realism memandang bahwa power merupakan sarana pencapaian kepentingan, bukan merupakan tujuan akhir serta power hanya diperlukan secukupnya sesuai kebutuhan.

Kelima terletak pada kesimpulan dalam memandang perilaku negara. Classical realism menyimpulkan bahwa perilaku negara mengarah kepada terjadinya ekspansi. Offensive realism menyimpulkan perilaku negara mengarah pada usaha untuk menjadi hegemonic power. Dan defensive realism memiliki kesimpulan perilaku negara mengarah pada balance of power.[5]

Selain berbagai perbedaan utama diatas, terdapat beberapa perbedaan lain antara classical realism dan structural realism ataupun perbedaan antara structural realism sendiri (antara offensive realism dan defensive realism). Berikut beberapa perbedaan diantaranya.

Bagi classical realism sebab utama mengapa negara menginginkan power adalah karena adanya suatu keinginan (will) manusia atas power. Menurut classical realism sebenarnya setiap manusia dilahirkan dengan keinginan yang kuat terhadap power dalam diri mereka. Hal ini berarti bahwa keinginan mendapatkan power  yang kuat membuat individu-individu berusaha membuat negaranya lebih dominan dibanding negara yang lainnya. Tidak ada yang bisa dilakukan untuk merubah hal tersebut sekalipun dengan kekuatan yang besar. Kondisi ini membuat negara-negara tersebut secara konstan mencari peluang untuk mengadakan serangan dan mendominasi negara-negara yang lain.[6]

Bagi structural realism (baik offensive realism maupun defensive realism), keinginan alami manusia hanya sedikit mempengaruhi dalam menjawab pertanyaan kenapa negara menginginkan power. Sebagai gantinya, hal tersebut merupakan struktur atau arsitektur dari sistem internasional yang menggerakkan negara untuk mengejar power. Didalam sebuah sistem dimana didalamnya tidak ada otoritas yang lebih tinggi di atas great power serta dimana tidak ada jaminan bahwa negara yang satu tidak akan menyerang yang lainnya, hal itu membuat tidak ada pilihan nyata yang lebih baik untuk masing-masing negara selain menjadi lebih kuat untuk melindungi dirinya dari keadaan terserang. Dengan kata lain masing-masing negara akan berusaha untuk menjadi lebih kuat dan melindungi dirinya dari serangan yang lain. Pada intinya, great power menjebak negara dalam sebuah kotak hitam dimana mereka hanya memiliki sedikit pilihan untuk berkompetisi dengan negara lainnya untuk mendapatkan power jika mereka ingin tetap bertahan.[7]

Offensive realism dan defensive realism mengabaikan perbedaan budaya diantara negara-negara termasuk perbedaan jenis rezim. Hal ini disebabkan sistem internasional menciptakan kesamaan dorongan dasar yang kuat untuk mendapatkan power. Baik negara tersebut demokrasi ataupun otokrasi, relatif tidak mempengaruhi bagaimana negara tersebut bertindak terhadap negara lain. Tidak juga terpengaruh oleh siapa yang berkuasa dalam kebijakan luar negeri suatu negara. Kedua varian strutural realism ini memperlakukan negara seolah-olah mereka berada dalam kotak-kotak hitam dan diasumsikan sama, kecuali fakta bahwa beberapa negara lebih kuat atau sedikit lebih kuat dibanding negara yang lain.[8]

Kendatipun offensive realism dan defensive realism merupakan varian dari structural realism, namun keduanya memiliki perbedaan yang signifikan dalam beberapa hal. Hal itu tercermin dalam menjawab pertanyaan seberapa banyak power dianggap mencukupi? Defensive realism menyebutkan bahwa merupakan hal yang tidak bijaksana bagi suatu negara untuk mencoba memaksimalkan power mereka dalam kekuatan dunia, karena sistem akan menghukum mereka jika mereka mencoba untuk mendapatkan power yang terlalu banyak. Menurut defensive realism, pencarian atas hegemoni merupakan hal yang terlalu membabi buta. Sedangkan offensive realism mengambil pandangan yang berlawanan. Mearsheimer menyebutkan bahwa pandangan ini membuat arti strategis yang baik bagi negara untuk mendapatkan power sebanyak mungkin, dan jika didukung oleh lingkungan yang baik, untuk mengejar hegemoni.[9] Argumen tersebut bukan menunjukkan bahwa pendudukan atau dominasi merupakan hal yang baik bagi negara, namun malah kepemilikan atas power yang berlimpah adalah jalan terbaik untuk melanjutkan kelangsungan hidup negara tersebut. Bagi classical realism, power adalah sebuah akhir dalam dirinya sendiri, sedangkan bagi structural realism, power adalah sebuah alat untuk suatu akhir yang paling utama yaitu bertahan hidup.[10]

Terdapat penjelasan sederhana dari structural realism (offensive realism ataupun defensive realism) mengenai mengapa negara-negara saling berkompetisi untuk mendapatkan power. Hal ini didasarkan pada lima asumsi yang menjelaskan tentang sistem internasional. Tak satupun dari asumsi tersebut yang menyebutkan secara terpisah bahwa negara-negara mencoba untuk mendapatkan power dengan mengorbankan negara lain. Tapi ketika negara-negara tersebut bersatu, mereka menggambarkan dunia sebagai sebuah kompetisi keamanan yang terus menerus dan tanpa henti.[11]

Asumsi pertama menyebutkan bahwa great power adalah pemeran utama dalam perpolitikan dunia dan mereka beroperasi dalam sistem yang anarki. Hal tersebut tidak mengatakan bahwa sistem tersebut dibentuk oleh kekacauan dan ketidakteraturan. Anarki adalah prinsip yang teratur. Secara sederhana berarti tidak ada otoritas yang terpusat atau penengah terakhir yang berdiri diatas negara-negara. Lawan anarki adalah hirarki, yang mana merupakan prinsip teratur politik domestik.

Asumsi kedua menyebutkan bahwa semua negara memiliki suatu kemampuan militer untuk menyerang. Masing-masing negara, dengan kata lain, memiliki power untuk membahayakan negara-negara tetangganya. Tentu saja, kemampuan ini bervariasi diantara negara-negara dan untuk beberapa negara dapat berubah kapanpun.

Asumsi ketiga menyebutkan bahwa negara-negara bisa tidak pernah yakin tentang tujuan dari negara lain. Apakah suatu negara bertekad untuk menggunakan kekuatan untuk merubah balance of power (revisionist state[12]), atau mereka cukup puas dengan yang dimiliki dan tidak punya minat dalam penggunaan kekuatan untuk mengubahnya (status quo states). Masalahnya, dalam hal ini, hampir tidak mungkin untuk melihat tujuan negara lain dengan derajat kepercayaan yang tinggi. Berbeda dengan kemampuan militer, tujuan atau niat sebuah negara tidak bisa diverifikasi secara empiris. Tujuan atau niat berada dalam pikiran pembuat keputusan dan mereka sangat sulit untuk diprediksi.

Asumsi keempat menyebutkan bahwa tujuan utama suatu negara adalah untuk dapat bertahan hidup. Negara menjaga integritas teritorial dan otonomi dari keputusan politik dalam negerinya. Mereka bisa mengejar tujuan lain seperti kesejahteraan dan perlindungan HAM, tapi tujuannya harus selalu kembali kepada keberlangsungan hidup, karena jika suatu negara tidak bertahan hidup, negara tersebut tidak bisa mengejar tujuan yang lain.

Asumsi kelima menyebutkan bahwa negara adalah aktor rasional, yang bisa dikatakan bahwa mereka mampu hadir dengan strategi yang logis untuk memaksimalkan kemungkinan mereka untuk bertahan hidup. Hal ini bukan untuk menyangkal kesalahan perhitungan dari waktu ke waktu. Sebab negara bekerja dengan informasi yang tidak sempurna dalam dunia yang kompleks, mereka kadang-kadang membuat kesalahan fatal.

Keberadaan great power dapat mengkhawatirkan negara yang lain. Didalamnya hanya terdapat sedikit kepercayaan diantara mereka. Mereka khawatir terhadap tujuan dari negara lain, dengan tinjauan yang lebih luas karena mereka sangat sulit untuk diramalkan. Ketakutan terbesar mereka adalah bahwa negara lain mungkin mempunyai kemampuan atau motif untuk menyerang mereka. Bahaya ini didukung oleh fakta bahwa negara bekerja dalam sistem yang anarki, yang berarti tidak ada penjaga malam (nightwatchman) yang bisa menyelamatkan mereka jika diancam oleh negara lain.[13]

Tingkat kekhawatiran diantara masing-masing negara bervariasi dari kasus ke kasus, tapi hal tersebut tidak pernah berkurang dalam tingkatan yang tidak teratur. Pertaruhannya benar-benar terlalu besar untuk mengikuti apa yang terjadi. Politik internasional adalah bisnis yang berpotensi mematikan dimana terdapat kemungkinan terjadinya perang, yang berarti akan terjadi pembunuhan masal dalam medan peperangan dan bahkan mungkin menuju pada kehancuran sebuah negara.

Great power juga mengandung pengertian bahwa mereka bekerja dalam dunia yang menolong diri sendiri. Mereka harus bersandar pada dirinya sendiri untuk menjamin keberlangsungan hidup mereka, sebab negara lain berpotensi mengancam dan karena tidak ada otoritas lebih tinggi yang dapat dimintai tolong bila mereka diserang. Hal ini bukan untuk menyangkal bahwa negara bisa membentuk aliansi, yang seringkali berguna untuk berhubungan dengan musuh yang berbahaya. Negara-negara tidak memiliki pilihan lain selain meletakkan kepentingan negara mereka diatas kepentingan negara lain yang pada akhirnya dinamakan komunitas internasional.

Kekhawatiran terhadap negara-negara lain dan kepastian bahwa mereka bisa bekerja di dunia yang hanya bisa ditolong oleh dirinya sendiri, negara-negara dengan cepat menyadari bahwa jalan terbaik untuk bertahan hidup adalah menjadi lebih kuat. Alasannya sangat jelas, bahwa kekuatan yang lebih besar merupakan penghubung  dengan saingan-saingan yang ada, hanya sedikit kemungkinan negara tersebut akan diserang. Sebagai contoh, tak satupun negara di Belahan Bumi Barat (Western Hemisphere) berani menyerang Amerika Serikat karena Amerika Serikat memiliki kekuatan lebih besar dibanding tetangga-tetangganya.

Logika sederhana ini mengarahkan great power mencari kesempatan-kesempatan untuk merubah balance of power dalam diri mereka. Yang terakhir, negara-negara ingin meyakinkan bahwa tidak ada negara lain mendapatkan power dengan mengorbankan mereka. Tentu saja, masing-masing negara dalam sistem internasional mengerti logika ini, yang mana mengarah pada persaingan yang tanpa henti untuk mendapatkan power. Intinya, struktur dari kekuatan sistem setiap great power, bahkan yang sedang berada dalam posisi puas atas kondisi status quo, untuk berpikir dan bertindak dengan cepat menjadi sebuah revisionist state.

Salah satu dari kita mungkin berpikir bahwa kedamaian bisa mungkin terjadi jika semua kekuatan besar berada dalam status quo. Masalahnya, tidaklah mungkin bagi negara-negara tersebut untuk merasa yakin terhadap tujuan negara lain, terutama tujuan di masa yang akan datang. Sebuah negara mungkin terlihat dan terdengar seperti memiliki kekuatan status quo, namun kenyataannya adalah sebuah revisionist state. Atau hari ini mungkin sebagai status quo state tapi berganti tipe esok harinya. Hal inilah yang oleh Mearsheimer disebut dengan tragedi dari politik great power. [14]

Terdapat perselisihan paham diantara offensive realism dan defensive realism mengenai seberapa banyak power yang dapat dikuasai oleh negara. Offensive realism berpendapat bahwa negara dapat selalu mencari kesempatan-kesempatan untuk mendapatkan lebih banyak power dan dapat melakukannya kapan saja bila nampak mungkin. Negara dapat memaksimalkan power, dan tujuan utama mereka adalah menjadi hegemon,[15] sebab hal tersebut jalan terbaik untuk mendapatkan jaminan bertahan hidup.

Sementara defensive realism mengakui bahwa sistem internasional menciptakan dorongan yang kuat untuk memperoleh tambahan power, mereka berpendapat bahwa mengejar hegemoni  merupakan strategi yang bodoh. Hal tersebut akan memunculkan ekspansi berlebihan yang sangat buruk. Negara, menurut mereka, tidak harus memaksimalkan power, tapi harusnya berusaha untuk sebuah power dalam jumlah yang sesuai.

Defensive realism menekankan bahwa jika terdapat satu atau beberapa negara yang terlalu kuat maka keseimbangan (balancing) akan terjadi. Khususnya, great power lainnya akan membangun militer mereka dan membentuk sebuah koalisi penyeimbang yang akan melawan hegemon dengan cita-cita tinggi (the aspiring hegemon) yang mana tidak terlalu aman, dan mungkin bahkan menghancurkannya. Hal tersebut terjadi pada Napoleonic France (1792–1815), Imperial Germany (1900–18), dan Nazi Germany (1933–45) ketika mereka melakukan serangan untuk menguasai Eropa. Setiap inspiring hegemon dikalahkan secara meyakinkan oleh sebuah aliansi yang semuanya, atau hampir semuanya, merupakan great power yang lain. Kejeniusan Otto von Bismarck, menurut defensive realism, dimana dia mengerti bahwa terlalu banyak power adalah buruk bagi Jerman, sebab hal tersebut dapat menyebabkan para tetangganya akan melawannya. Sehingga, dia sangat bijak dengan menghentikan ekspansi Jerman setelah memenangkan kemenangan fantantis dalam perang Austro-Prussian (1866) dan Franco-Prussian (1870-1).[16]

Beberapa penganut defensive realism berpendapat bahwa disana terdapat sebuah keseimbangan offence-defence (offence-defence balance), yang mana menunjukkan bagaimana mudah atau sulitnya untuk menaklukkan daerah atau mengalahkan sebuah pertahanan dalam peperangan. Dengan kata lain, hal tersebut memberitahu iya atau tidak serangan membuahkan hasil. Defensive realism berpendapat bahwa keseimbangan offense-defense biasanya lebih mempertimbangkan untuk lebih suka bertahan, dan sehingga satu atau beberapa negara  berusaha menambah semakin banyak power tambahan untuk mengakhiri satu rangkaian kekalahan perang. Dengan demikian, negara-negara akan mengakui kegagalan dari penyerangan dan berkonsentrasi untuk mengubah posisi mereka dalam balance of power. Jika mereka terus-terusan melakukan penyerangan, tujuan mereka akan menjadi terbatas.

Defensive realism lebih lanjut berpendapat bahwa, bahkan ketika penaklukan mungkin dilakukan, hal tersebut tidak akan membuahkan hasil sehingga pengorbanannya lebih banyak dibandingkan keuntungannya. Sebab nasionalisme, kadangkala menjadi senjata yang dapat mengalahkan penaklukan. Ideologi nasionalisme, yang mana sangat melekat dan kuat, merupakan semua tentang kebulatan tekad dalam diri, yang sebenarnya menjamin bahwa populasi yang diduduki akan bangkit melawan yang menduduki. Lebih lanjut, hal tersebut sulit untuk orang asing untuk memanfaatkan industri ekonomi modern, kebanyakan disebabkan teknologi informasi memaksa keterbukaan dan kebebasan, yang mana jarang ditemukan pada penaklukan.

Kesimpulannya, tidak hanya penaklukan sulit dilakukan tapi, bahkan dalam kejadian dimana great power menaklukkan negara yang lain, mereka mendapatkan sedikit keuntungan dan banyak permasalahan. Menurut defensive realism, hal tersebut merupakan fakta dasar tentang hidup dalam sistem internasional seharusnya adalah nyata untuk semua negara dan perlu membatasi keinginan besar mereka untuk mendapatkan power lebih besar. Sebaliknya, mereka menuju pada resiko ancaman terhadap keberlangsungan hidup mereka. Jika semua negara mengakui logika ini dan mereka bisa jika mereka adalah aktor rasional, maka persaingan keamanan tidak akan menjadi sangat utama, dan mereka tidak seharusnya menunjukkan perang antar great power. [17]

Offensive realism tidak menerima argumen-argumen tersebut. Mereka mengetahui bahwa negara pengancam biasanya seimbang ketika berlawanan dengan musuh yang berbahaya, tapi mereka menunjukkan bahwa keseimbangan merupakan seringkali tidak efisien, khususnya ketika hal tersebut muncul dari pembentukan koalisi penyeimbang, dan bahwa ketidakefisienan ini memberi kesempatan kepada penyerang yang cerdik untuk mengambil keuntungan dari lawannya. Dengan kata lain, mereka mencoba membuat negara lain berasumsi untuk memeriksa lawan yang lebih kuat selagi mereka berada didekatnya. Hal ini merupakan macam dari perilaku, yang mana merupakan kejadian sehari-hari diantara great powers, dan juga memunculkan kesempatan untuk sebuah penyerangan.

Offensive realism juga menggunakan isu bahwa pihak yang menyerang mempunyai sebuah keuntungan yang berarti atas pihak yang bertahan, dan serangan tersebut hampir tidak pernah membutuhkan biaya. Dan tentu saja, catatan sejarah menunjukkan bahwa pihak yang memiliki inisiatif untuk memulai peperangan lebih sering menang dibanding pihak yang bertahan. Amerika Serikat melakukan hal tersebut terhadap Western Hemisphere sepanjang abad kesembilan belas. Dan juga, Kerajaan Jerman berhasil menguatkan hegemoni di Eropa sepanjang Perang Dunia I.

Pada akhirnya, offensive realism mengakui bahwa kadangkala penaklukan tidak berhasil, mereka juga menunjukkan bahwa kadangkala penaklukan berhasil. Para penakluk bisa mengeksploitasi ekonomi negara yang dikalahkan untuk memperoleh keuntungan, bahkan di era informasi. Negara yang diduduki kadangkala relatif mudah untuk diperintah, seperti kasus Perancis dibawah Kaum Nazi (1940-4). Lebih lanjut, sebuah negara pemenang tidak perlu menduduki sebuah negara yang kalah untuk memperoleh keuntungan atas mereka. Pemenang mungkin mencaplok sebagian dari wilayah negara yang kalah, memecahnya menjadi dua atau lebih negara yang lebih kecil, atau tidak mempersenjatai dan mencegah mereka untuk mengembangkan persenjataan.

Untuk semua pemikiran tersebut, offensive realism beranggapan bahwa great power secara konstan mencari kesempatan untuk memperoleh keuntungan lebih atas negara yang lain, dengan hasil terakhir memperoleh hegemoni. Kompetisi keamanan dalam dunia ini akan cenderung menjadi keras dan nampaknya akan menjadi perang great power. Lebih lanjut, bahaya terbesar dari pusat peperangan akan muncul kapan saja bila terdapat potensial hegemoni didalamnya.

Perilaku dari great power lebih sesuai dengan perkiraan dari offensive realism dibanding defensive realism. Sepanjang babak pertama dari abad keduapuluh, terdapat dua perang dunia yang mana tiga great power mencoba dan gagal untuk memperoleh hegemoni regional, seperti Kerajaan Jerman, Kerajaan Jepang dan Nazi Jerman. Babak kedua dari abad tersebut didominasi oleh Perang Dingin, yang mana Amerika Serikat dan Uni Soviet bersaing dengan hebat dalam kompetisi keamanan dimana hampir meledak pada Krisis Nuklir Cuba (1962).[18]

Kebanyakan offensive realism mengakui bahwa great power sering berjalan dengan cara-cara yang kontradiktif dengan teori mereka. Mereka melanjutkan, bahwa negara tidak bertindak rasional, dan dengan begitu bukanlah kejutan bila Kerajaan Jerman, Kerajaan Jepang dan Nazi Jerman hancur dalam perang yang dengan bodoh mereka mulai. Negara yang memaksimalkan kekuatan, menurut mereka, tidak meningkatkan kemungkinan mereka untuk bertahan, mereka meragukan hal tersebut.

Hal ini pastinya melegitimasi batas dari argumen dari defensive realism, tapi defensive realism mengakui bahwa negara sering bertindak dalam pilihan strategi yang bodoh, mereka harus menjelaskan kapan negara bertindak menurut ketentuan-ketentuan teori realis struktural mereka dan kapan mereka tidak melakukannya. Dalam hal ini, Waltz dengan sangat baik berpendapat bahwa teori internasional politiknya perlu untuk dilengkapi dengan sebuah teori terpisah tentang kebijakan luar negeri yang dapat menjelaskan perilaku negara yang salah. Bagaimanapun, teori tambahan tersebut, yang mana selalu menenkankan pada pertimbangan politik domestik, adalah bukan teori realis struktural.

Defensive realist seperti Barry Posen, Jack Snyder dan Stephen Van Evera menyesuaikan diri dengan pola sederhana Waltzian ini. Masing-masing berpendapat bahwa logika struktural bisa menjelaskan sebuah jumlah yang layak dari perilaku negara, akan tetapi sebuah jumlah yang penting dari hal tersebut tidak bisa dijelaskan oleh realis struktural. Oleh karena itu, sebuah teori alternatif dibutuhkan untuk menjelaskan hal tersebut dimana great power bertindak pada arah yang tidak strategis. Untuk yang terakhir, Posen (1984) percaya pada organizational theory, Snyder (1991) pada tipe domestic regime dan Van Evera (1999) pada militarism. Masing-masing mengusulkan teori kebijakan luar negeri, untuk menggunakan paham Waltz. Pada pokoknya, defensive realism harus keluar dari realis struktural untuk menjelaskan bagaimana negara bertindak dalam sistem internasional. Mereka harus mengkombinasikan teori tingkatan domestik dan teori tingkatan sistem untuk menjelaskan bagaimana dunia bekerja.

Offensive realism, pada sisi yang lain, cenderung percaya  pada argumen struktural untuk menjelaskan politik internasional. Mereka tidak membutuhkan sebuah teori yang lain dari kebijakan luar negeri, sebagian besar disebabkan karena dunia nampak sama dengan yang disampaikan oleh offensive realism. Tentunya, offensive realim mengakui bahwa negara kadangkala bertindak dalam strategi yang bodoh, dan kejadian-kejadian tersebut kontradiktif dengan teori mereka. Defensive realism, memiliki posisi mundur yang tidak terdapat pada kaum offensive realism. Mereka bisa menjelaskan kejadian-kejadian perilaku tidak strategis dengan teori terpisah dari kebijakan luar negeri.[19]

Lebih lanjut, Mearsheimer mengemukakan bahwa untuk mencapai hegemoni, negara harus memenuhi empat hal.[20] Pertama, great power harus membangun militer yang paling hebat di wilayah mereka sendiri. Khususnya, mereka harus bisa mendominasi kekuatan darat sebab kekuatan darat merupakan instrument yang paling penting dalam menklukkan dan mempertahankan sebuah wilayah. Kedua, suatu negara harus mampu menguatkan perekonomia mereka sebab ekonomi merupakan prasyarat paling penting dalam membangun kekuatan militer. Ketiga, suatu negara harus membangun kekuatan nuklir yang superior dibanding negara yang lain. Dan yang keempat adalah suatu negara harus bisa mendominasi institusi internasional sebab institusi internasional merupakan lembaga yang dapat mengamankan dan melegitimasi setiap perilaku negara tersebut.

Menurut Mearsheimer terdapat dua strategi utama yang dapat digunakan oleh great power untuk mencapai tujuan sebagai hegemon.[21] Strategi yang pertama adalah strategi yang mengarah pada upaya peningkatan relatif power yang dimiliki (strategy aims at gaining further increments of relative power). Sedangkan strategi yang kedua adalah strategi yang mengarah pada upaya memeriksa dan mencegah adanya agresor (strategy aims at checking aggressors)

Prinsip utama dari strategi peningkatan power adalah perang (war) dan penaklukan (conquest). Meskipun perang memerlukan biaya yang besar, negara-negara rasional mungkin akan memulai peperangan bila keuntungan yang akan diperoleh akan lebih besar bila dibandingkan biaya yang dikeluarkan. Dan yang paling penting, peperangan yang sukses memungkinkan hilangnya agresor yang dapat mengancam negara tersebut. Strategi berikutnya yang dapat digunakan dalam strategi peningkatan power adalah pemerasan (blackmail). Strategi ini digunakan dalam rangka untuk memperoleh keuntungan dari negara pesaing dengan ancaman penggunaan kekuatan. Strategi ini sangat tidak efektif bila diterapkan ketika berhadapan dengan negara pesaing yang memiliki tingkat power yang relatif sama. Sebaliknya akan sangat efektif bila diterapkan ketika berhadapan dengan negara yang memiliki power relatif lebih kecil. Dan strategi yang terakhir yang dapat digunakan dalam upaya peningkatan power adalah penyerangan besar-besaran (bloodletting). Strategi ini digunakan untuk memperoleh kuasa penuh atas negara yang lain.

Selanjutnya Mearsheimer menyatakan bahwa terdapat dua strategi yang dapat digunakan dalam strategi yang mengarah pada upaya memeriksa dan mencegah adanya agresor. Yang pertama adalah penyeimbangan (balancing). Penyeimbangan dilakukan dengan melakukan pengawasan atas agresor yang mungkin muncul melalui pembangunan penyeimbangan dalam negara (internal balancing) dan pembentukan aliansi internasional (external balancing). Internal balancing dalapat dilakukan dengan penguatan militer, ekonomi dan nuklir. Sedangkan external balancing termasuk didalamnya adalah keanggotaan dalam institusi internasional, sehingga penguasaan atau dominasi atas institusi internasional menjadi signifikan dalam hal ini. Strategi yang kedua adalah penghindaran (buck-passing). Buck-passing merupakan alternatif utama dari balancing. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan penghindaran atas terjadinya perang dengan jalan berlindung dari negara lain yang merupakan aliansi negara tersebut.[22]

Seperti realism yang lainnya, offensive realism yang dikemukakan oleh Mearsheimer meletakkan institusi internasional sebagai alat dalam upaya untuk mendapatkan power, yang pada akhirnya mengarah kepada pencapaian hegemoni. Dalam artikelnya berjudul The False Promise of International Institutions, Mearsheimer menyebutkan definisi institusi internasional sebagai;

… a set of rules that stipulate the ways in which states should cooperate and compete with each other. They prescribe acceptable forms of state behavior, and proscribe unacceptable kinds of behavior. These rules are negotiated by states, and according to many prominent theorists. They entail the mutual acceptance of higher norms, which are standard of behavior defined in terms of right and obligations. These rules are typically formalized in international agreements, and are usually embodied in organizations with their own personnel and budgets. Although rules are usually incorporated into a formal international organization, it is not the organization per se that compels states to obey the rules. Institutions are not a form of world government. States themselves must choose to obey the rules they created. Institutions, in short, call for the decentralized cooperation of individual sovereign states, without any effective mechanism of command”.[23]

(… sekumpulan aturan yang menentukan tatacara untuk setiap negara dalam bekerjasama dan bersaing dengan negara yang lainnya. Mereka menentukan format perilaku negara yang dapat diterima, dan melarang bentuk peliaku yang tidak bisa diterima. Aturan-aturan tersebut dirundingkan oleh negara-negara, dan didasarkan oleh berbagai teori terkemuka. Mereka memerlukan dukungan timbal balik terhadap norma-norma yang lebih tinggi, yang mana merupakan perilaku standar yang tercermin dalam hak dan kewajiban. Aturan-aturan tersebut pada umumnya disusun dalam persetujuan internasional, dan pada umumnya menjadi badan organisasi dengan keanggotaan dan anggaran mereka sendiri. Walaupun aturan-aturan biasanya disatukan dalam sebuah organisasi internasional yang resmi, namun tidak serta merta membuat negara-negara harus mematuhi aturan-aturannya. Institusi bukanlah suatu format pemerintahan dunia. Negara-negara dengan sendirinya harus memilih untuk mematuhi aturan-aturan yang mereka buat. Institusi, pendeknya, dapat disebut kerjasama yang tidak tersentral pada negara berdaulat yang individual, tanpa adanya mekanisme yang efektif atas perintah).

 

Dari definisi tersebut, Mearsheimer menunjukkan bahwa institusi internasional tak lebih hanya sebagai kepanjangan tangan negara-negara dalam proses interaksi antar negara. Baik interaksi tersebut dalam bentuk kerja sama maupun persaingan. Lebih lanjut, Mearsheimer menyatakan :

Offensive realism believe that those rules reflect state calculations of self-interest based primarily on the international distribution of power. The most powerful states in system create and shape institutions so that they can maintain their share of world power, or even increase it”.[24]

(Offensive realism percaya bahwa aturan-aturan tersebut pada dasarnya merupakan cerminan dari perhitungan negara atas distribusi power internasional. Negara yang paling kuat dalam sistem akan membentuk dan menentukan institusi-institusi sehingga mereka dapat menjaga pembagian power dunia, atau bahkan meningkatkannya).

 

Dalam pandangan ini, institusi internasional pada dasarnya merupakan arena untuk memerankan hubungan antar power. Bagi offensive realism, alasan untuk terjadinya perang dan perdamaian sebagaian besar merupakan sebuah fungsi dari balance of power, dan institusi internasional sebagian besar merupakan cermin dari distribusi power dalam sistem. Dengan kata lain, balance of power merupakan variabel tersendiri yang menjelaskan tentang perang, sedangkan institusi internasional merupakan variabel tambahan dalam proses. Keberadaan institusi internasional, oleh offensive realism, hanya dianggap sebagai alat legitimasi atas perilaku negara. Hal inilah yang kemudian membuat institusi internasional memiliki peran dalam pelaksanaan kepentingan negara.

 

Study Case

Pada konteks penolakan Amerika Serikat dalam setiap upaya reformasi DK-PBB,  konsep offensive realism nampak kentara didalamnya. Dalam penjelasan sebelumnya, offensive realism menganggap bahwa setiap perilaku negara hanya didasarkan atas keinginan untuk bertahan hidup, tak terkecuali Amerika Serikat yang saat ini merupakan great power paling dominan dalam sistem. Dalam upaya tetapnya keberlangsungan hidup tersebut, Amerika Serikat cenderung beranggapan bahwa penguasaan atas power semaksimal mungkin merupakan hal yang harus didapatkan. Penguasaan power tersebut tak hanya meliputi kekuatan militer ataupun ekonomi saja. Dominasi atas institusi internasional pun merupakan hal signifikan yang harus didapatkan. Sebab, seperti yang dikemukakan offensive realism, penguasaan atas institusi internasional merupakan salah satu jalan tercapainya hegemoni yang pada akhirnya menjamin keberlangsungan hidup negara.[25]

Dalam tubuh PBB saat ini, terutama DK-PBB, Amerika Serikat memainkan peran yang sangat besar. Bahkan bisa dikatakan Amerika Serikat merupakan pemimpin dalam DK-PBB. Sekalipun didalam DK-PBB masih terdapat empat negara lain yang juga memiliki hak veto. Namun, keberadaan Amerika Serikat tampak lebih istimewa dibandingkan empat negara lainnya. Hal tersebut tak lepas dari kontribusi Amerika Serikat, finansial ataupun pemikiran, yang lebih besar dibandingkan negara yang lainnya. Adanya upaya perubahan dalam tubuh DK-PBB tentunya akan mempengaruhi komposisi dan distribusi power yang ada didalamnya. Hal inilah yang ditakutkan oleh Amerika Serikat akan mengancam dominasi Amerika Serikat dalam DK-PBB. Disinilah kemudian penulis akan mencoba menjelaskan bagaimana konsep offensive realism akan menjelaskan alasan penolakan Amerika Serikat atas upaya reformasi DK-PBB.

 

 

 


[1] John J. Mearsheimer merupakan Profesor Ilmu Politik pada Universitas Chicago. Dia juga merupakan pemimpin dalam Program Kebijakan Keamanan Internasional. Dia berkontribusi dalam memberikan literatur bagi Ilmu Hubungan Internasional melalui artikel-artikel ilmiahnya serta beberapa buku seperti : “Conventional Deterrence”, “Lidell Hart and the Weight of History”, dan “The Tragedt of Great Power Politics”. Kajian Mearsheimer mencakup berbagai isu keamanan internasional mulai dari conventional deterrence, studi strategis, nuklir sampai kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Dan lagi, dia menginspirasi beberapa perdebatan penting tentang teori dalam disiplin Ilmu Hubungan Internasional. Dia merupakan kontributor pada New York Times, New Republic dan Atlantic. Dia juga aktif dalam perdebatan atas kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Saat ini dia merupakan salah satu pemikir terkemuka dalam studi Hubungan Internasional.

[2] Menurut Mearsheimer, great power didefinisikan sebagai negara dengan kualitas dan kuantitas power berada diatas negara yang lain. Power tersebut dapat berupa kekuaran militer, kekuatan ekonomi maupun populasi penduduk dalam jumlah yang besar. Lihat “Book Review : The Tragedy of Great Power Politics by John J. Mearsheimer” dalam http://www.futuecast.com/book%review%204-05.htm, di akses tanggal 30 Juni 2009.

[3] Ibid.

[4] Power atau kekuasaan bagi para pemikir realis dianggap sebagai tujuan dari setiap negara dalam percaturan politik global. Dengan kata lain, power is an end in itself. Menurut Thomas Hobbes kekuasaan negara sangat diperlukan dalam rangka menciptakan kekertiban umum yang diperlukan masyarakat. Hans J. Mogenthau berbendapat bahwa power dibutuhkan untuk menjamin dan mempertahankan kelangsungan hidup negara dalam melakukan interaksi dengan negara-negara lain. Kenneth Waltz dan para para pemikir neorealis lainnya lebih menekankan power sebagai instrumen untuk menciptakan rasa aman bagi pemiliknya yang senantiasa sensitif terhadap distribusi pemilikan instrumen tersebut dalam sistem internasional. Tentu saja setiap unit dalam sistem berusaha untuk mengontrol instrumen tersebut dalam jumlah kualitas yang memadai untuk mempertahankan eksistensinya. Dikutip dari Aleksius Jemadu. 2008. Politik Global dalam Teori dan Praktik. Teori-teori Utama dalam Studi Politik Global dan Penerapannya: Neorealisme dan Penerapannya. Graha Ilmu. Yogyakarta. Hal. 36

[5] Ernst B. Haas menemukan sedikitnya delapan arti yang berbeda untuk istilah balance of power, yaitu : (1) distribusi kekuasaan, (2) suatu proses ekuilibrium atau penyeimbangan; (3) hegemoni atau pengejaran hegemoni; (4) stabilitas dan perdamaian dalam suatu gabungan kekuasaan; (5) instabilitas dan perang; (6) power politics pada umumnya; (7) suatu hukum universal sejarah; (8) suatu sistem dan pedoman bagi pembuat pembuat kebijakan.emusykilan dalam balance of power,” kata Inis L. Claude, Jr., “bukan karena ia tidak mengandung arti, tetapi justru ia memiliki terlalu banyak arti.”, dalam Harwanto Dahlan. Op.cit. hal 31.  Memang benar konsep balance of power dikaburkan dengan banyak ambiguitas. Banyak negarawan yang lebih senang suatu superioritas unilateral daripada suatu keseimbangan bilateral yang obyektif dengan rival utama mereka. Kendatipun demikian, secara teoretis adalah mungkin untuk memandang keseimbangan kekuatan sebagai suatu situasi atau kondisi, suatu tendensi universal atau hukum dari tingkah laku negara, sebagai suatu pedoman bagi kenegarawanan, dan sebagai suatu mode pemeliharaan sistem yang khas dari tipe-tipe tertentu sistem internasional. Sepanjang kita masih berpikir terutama dalam pengertian pengertian ekuilibrium dan bukan superioritas, maka empat pemakaian ini tidaklah perlu tidak konsisten satu sama lain. Dalam Ibid. Dipandang sebagai suatu situasi atau suatu kondisi, balance of power berarti pengaturan obyektif di mana terdapat kepuasan yang merata terhadap distribusi  kekuasaan. Kecenderungan atau hukum universal melukiskan suatu probabilitas dan memungkinkan seseorang untuk memprediksi sehingga anggota anggota dalam suatu sistem yang terancam dengan munculnya suatu “pengganggu keseimbangan,” yakni suatu kekuatan yang bermaksud membentuk suatu hegemoni internasional, akan segera membangun koalisi guna mengimbanginya. Balance of power sebagai suatu pedoman kebijaksanaan memberikan petunjuk kepada para negarawan yang akan bertindak rasional agar mereka memelihara kewaspadaan terus menerus dan siap untuk mengorganisasi suatu koalisi pengimbang terhadap perusak ekuilibrium. Balance of power sebagai suatu sistem menunjuk pada suatu masyarakat multi nasional di mana semua aktor aktor utama menjaga identitas, integritas dan kemerdekaannya melalui proses penyeimbangan. Dalam Jeffrey W. Taliaffero. “Security Seeking Under Anarchy: Defensive Realism  Revisited,” International Security, Vol. 25, No. 3 (Musim Dingin 2000/01), hlm. 137,

dalam http://people.exeter.ac.uk/sjenkins/Pages/undergrads/2036acro/taliaferro.pdf. Diakses tanggal 26 Juni 2009

[6] Mearsheimer. “Structural Realism”, dalam http://www.oup.com/uk/orc/bin/9780199298334/ freelecturer/ppt/ch04, diakses tanggal 26 Juni 2009.

[7] Ibid.

[8] Ibid.

[9] Menurut Mearsheimer, hegemoni diartikan sebagai dominasi dalam system, yang mana pada umumnya diinterpretasikan dalam keseluruhan dunia. Dapat dilihat dalam Peter Toft. “John J. Mearsheimer : An Offensive Realist Between Geopolitics and Power” dalam http://www.polsci.ku.dk/bibliotek/publikationer/2003/ap_2003_01.pdf, diakses tanggal 26 Juni 2009.

[10] Mearsheimer. “Structural Realism”. Loc. Cit.

[11] Ibid.

[12] Menurut Barbara Kunz revisionist state adalah negara yang merasa tidak senang dengan status atau posisinya di dalam sistem internasional saat ini dan berusaha untuk merombak status-qou. Pada dasarnya revisionist state tidak menempatkan dirinya berhadapan dengan sistem internasional yang abstrak. Akan tetapi mereka (revisionist state) cenderung menepatkan posisinya vis a vis negara status-quo (aktor utama dalam struktur internasional). Dikutip dari Barbara Kunz. 2007. The Revisionist State in International Politics: What Level of Analysis? Makalah dipresentasikan pada the 2007 Annual Meeting of the American Political Science Association. 30 Agustus-2 September. Chicago. Hal.12.

[13] Mearsheimer. “Structural Realism”. Loc. Cit

[14] Ibid.

[15] Mearsheimer mendifinisikan hegemon sebagai sebuah negara yang lebih kuat dan mendominasi semua negara lain yang berada dalam sistem. Dapat dilihat dalam Peter Toft.“John J. Mearsheimer : An Offensive Realist Between Geopolitics and Power”. Loc. Cit.

[16] Mearsheimer. “Structural Realism”. Loc. Cit.

[17] Ibid.

[18] Ibid.

[19] Ibid.

[20] Peter Toft.“John J. Mearsheimer : An Offensive Realist Between Geopolitics and Power”. Loc. Cit.

[21] Ibid.

[22] Ibid.

[23] John J. Mearsheimer. The False Promise of International Institutions. International Security. Vol 19. No. 3 (Winter). Hal 257.

[24] John J. Mearsheimer. The False Promise of International Institutions. Op. Cit. Hal 261.

[25] Peter Toft.“John J. Mearsheimer : An Offensive Realist Between Geopolitics and Power”. Loc. Cit.

oleh David Held[1]

 Dalam artikelnya yang berjudul The Principles of Effective Global Governance: Participation, Social Justice and Sustainability, David Held bersama Kevin Young menyatakan bahwa terdapat tiga masalah global yang harus segera diatasi bersama oleh negara-negara dan institusi internasional di dunia. Ketiga masalah tersebut yaitu:[2]

“… First, the serious challenges associated with the global financial system are examined through a focus on the need for stronger institutional governance capacity and participatory reform. Second, the shared global security environment is explored. The demonstrable failure of unilateralism and the recognition of the need for security in a much broader sense – security from poverty, disease, and joblessness – call for a security agenda that places social justice at its core. Third, the threat to the natural environment posed by climate change and the inadequacy of the current efforts to manage climate change are set out”.

(… Pertama, tantangan serius yang terkait dengan sistem keuangan global yang fokusnya pada perlu adanya pemerintahan oleh institusi yang kuat dan reformasi partisipatoris. Kedua, pembagian lingkungan keamanan global yang perlu diselidiki. Kegagalan yang dapat dibuktikan atas unitelarisme dan diakuinya kebutuhan atas keamanan yang lebih luas – keamanan dari kemiskinan, penyakit dan pengangguran – mengarah pada sebuah agenda keamanan yang menempatkan keadilan sosial sebagai intinya. Ketiga, ancaman terhadap lingkungan alami yang disebabkan oleh perubahan iklim dan kurangnya upaya yang ada saat ini untuk menangani perubahan iklim)

Menurut Held politik dunia saat ini telah mengalami pergeseran. Dengan kegagalan unilateralisme dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat, ketidakpastian atas peran Uni Eropa dalam urusan global, kebuntuan perundingan perdagangan global dan yang terburuk bencana keuangan internasional di dunia telah yang terjadi dalam 80 tahun terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa sangat tidak mungkin tatanan multilateral dapat bertahan lebih lama lagi dalam bentuk yang sekarang, dan kemungkinan konfigurasi baru sedang diciptakan.[3]

Lebih lanjut Held dan Young berpendapat bahwa Meningkatnya berbagai isu global yang terjadi beberapa dekade terakhir kurang ditangani dengan baik. Kemiskinan dan ketidaksetaraan global telah berada pada tingkat yang mengkhawatirkan; krisis kemanusiaan mewabah pada jutaan orang; kerusakan lingkungan yang luas semakin mempersempit kesempatan hidup di berbagai belahan dunia, dan kemampuan ekosistem untuk mempertahankan energi patut untuk dipertanyakan. Ditambah lagi munculnya krisis keuangan dalam bentuk merosotnya perekonomian seluruh negara di dunia dalam segala bidang ekonomi beberapa dekade terakhir semakin menunjukkan bahwa ada sesuatu yang salah dalam tatanan dunia dan harus segera diperbaiki. Serta kondisi keamanan dunia serta pengakuan atas hak-hak negara dan masyarakatnya yang kian mengkhawatirkan.[4]

Berbagai tantangan global tersebut merupakan indikasi dari tiga lapisan masalah yang dihadapi dunia, yaitu pertama, yang terkait dengan permasalahan planet kita (seperti perubahan iklim, merosotnya keanekaragaman hayati dan ekosistem serta defisit air), kedua, terkait dengan permasalahan mempertahankan kesempatan hidup (seperti pencegahan perang dan konflik, kemiskinan serta penyakit global) dan ketiga, yang terkait dengan permasalahan peraturan yang mengatur hubungan antar negara (seperti peraturan keuangan dan perpajakan, peraturan perdagangan dan hak kekayaan intelektual).[5]

Held melanjutkan bahwa dalam dunia kita dimana tiap negara memiliki hubungan dengan negara lainnya, masalah-masalah global tersebut tidak dapat diselesaikan oleh salah satu negara atau bangsa saja. Perlu adanya tindakan kolektif dan kolaboratif.[6]

Berbagai kebijakan yang sebagian besar mengatur agenda global dalam beberapa dekade terakhir, baik di bidang ekonomi maupun keamanan telah gagal. Konsensus Washington yang sempit serta doktrin keamanan Washington (atau fundamentalisme pasar dan unitelarisme) seakan telah membuat mereka menggali kubur sendiri. Sebagian besar negara yang suskes dalam pembangunannya di dunia (diantaranya China, India, Vietnam dan Uganda) disebabkan karena mereka tidak mengikuti agenda Konsensus Washington. Dan sebagian besar pula negara yang sukses mengatasi konflik (diantaranya negara-negara Balkan, Sierra Leone  dan Liberia) disebabkan karena mereka mendapat keuntungan dari dukungan multilateralisme dan agenda keamanan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa perlu ada perubahan dalam menghadapi masa depan yang lebih baik. Untuk maju efektivitas dab akuntabilitas tatanan multilateralisme haruslah belajar dari kesalahan-kesalahan tersebut. Perlunya perubahan yang mendasar adalah hal yang harus segera dilaksanakan. Baru-baru ini pertemuan G20 di Washington serta konferensi perubahan iklim PBB di Ponzan dilambangkan sebagai pengakuan bahwa perlu ditingkatkannya proses reformasi.[7]

Dalam artikelnya tersebut Held dan Young menunjukkan berbagai solusi terkait berbagai masalah global terutama terkait dengan masalah krisis keuangan, perubahan iklim dan keamanan dunia. Namun, terkait hal ini penulis hanya akan memaparkan solusi untuk mengatasi masalah global yang terkait dengan keamanan dunia. Hal tersebut didasarkan atas masalah tersebut terkait dengan bahasan tulisan ini yaitu tentang reformasi DK-PBB.[8]

Terkait dengan masalah keamanan global Held dan Young menggambarkannya solusinya dalam bagan berikut:

Bagan 1.1 Solusi Penanganan Masalah Keamanan Global Menurut David Held dan Kevin Young

 

Sumber :       David Held dan Kevin Young. “The Principles of Effective Global Governance: Participation, Social Justice and Sustainability” dalam http://www.feps-europe.eu/fileadmin/downloads/globalisation/0902_ FEPS_HeldYoung.pdf, diakses tanggal 2 Maret 2010.

Dalam bagan 1.1 Held dan Young memaparkan bahwa terdapat lima hal yang dapat dijadikan solusi dalam mengatasi masalah keamanan dunia. Pertama, memperluas konsep ketidakamanan manusia (human insecurity). Hal ini dimaksudkan bahwa saat ini setiap manusia berada dalam keadaan yang tidak aman. Kesempatan hidup semakin tipis sejalan dengan berbagai masalah keamanan yang muncul, seperti konflik, perang, nuklir, senjata pemusnah massal serta munculnya berbagai penyakit yang persebarannya mengancam seluruh penduduk global. Kesadaran atas konsep human insecurity ini akan memunculkan tindakan dari masing-masing pihak untuk meminimalisir ancaman yang muncul.[9]

Kedua, menghubungkan kembali agenda keamanan dan hak asasi manusia dalam hukum internasional. Saat ini, berbagai hukum internasional yang bersinggungan dengan masalah keamanan dan hak asasi manusia memang sudah ada. Namun, dalam pelaksanaannya kerap kali tidak diterapkan dengan adil. Hukum tersebut hanya berlaku bagi negara-negara kuat dan memiliki pengaruh besar dalam perpolitikan dunia.[10]

Ketiga, mengimplementasikan Millenium Development Goals (MDG) yang telah dirumuskan dalam PBB. Saat ini implementasi dari MDG tidak berjalan dengan baik. Kesejahteraan serta kemakmuran bersama hanya dirasakan oleh negara-negara kuat yang mendominasi sistem politik dunia. Artinya harus ada perubahan yang signifikan dalam pelaksanaan MDG, yaitu dengan lebih mengutamakan negara-negara dengan peran kecil dalam politik dunia namun memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah. PBB harus melindungi negara-negara tersebut dari ancaman negara-negara kuat.[11]

Keempat, mereformasi DK-PBB untuk meningkatkan manajemen otorisasi dan kemanusiaan dalam intervensi senjata. Hal ini memiliki tujuan untuk mengatur kempemilikan persenjataan (tradisional maupun modern) oleh masing-masing negara agar tidak menjadi ancaman bagi kedamaian dunia. Saat ini DK-PBB cenderung pilih kasih terkait persenjataan ini. Contoh sederhana adalah kepemilikan nuklir oleh Amerika Serikat dan Iran. Amerika Serikat hampir tidak pernah dilarang dalam pengembangan nuklirnya. Namun tidak demikian dengan Iran yang selalu di awasi penuh oleh IAEA.[12]

Dan kelima adalah merubah komposisi DK-PBB untuk memperpanjang perwakilan untuk semua daerah di dunia. Komposisi DK-PBB yang ada saat ini oleh Held dianggap sangat tidak representatif. Komposisi DK-PBB saat ini tidak mewakili seluruh anggota PBB. Bahkan tidak dapat mengakomodir setiap permasalahan yang muncul di dunia. Held menambahkan bahwa kondisi geopolitik saat ini sangatlah berbeda jauh dengan masa Perang Dunia I atau II. Sehingga seharusnya komposisi DK-PBB tidak seperti yang ada saat ini. Oleh karenanya DK-PBB haruslah segera direstrukturisasi.[13]

Menurut Held harus ada perubahan mendasar dalam komposisi DK-PBB. Yaitu dengan penambahan jumlah anggota DK-PBB, baik anggota tetap ataupun anggota tidak tetap. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa komposisi DK-PBB saat ini tidak lagi relevan dengan jumlah anggota PBB, sehingga menyebabkan keterwakilan negara-negara anggota PBB tidak terakomodir dengan baik. Lebih lanjut menyebutkan bahwa perubahan lainnya adalah dalam perubahan kewenangan yang dimiliki oleh DK-PBB.[14]

Held menambahkan bahwa pelaksanaan agenda keamanan, negara berserta institusi internasional setidaknya melakukan tiga hal. Pertama, harus ada komitmen terhadap supremasi hukum dan pengembangan lembaga multilateral – bukan pelaksanaan perang yang dilakukan sebagai respon pertama dalam menghadapi konflik. Bila keadilan tidak memihak, maka tidak akan ada kekuatan yang dengan arogan berusaha mengontrol dunia, berani mengambil resiko melawan hukum dan bertindak tidak adil. Yang dibutuhkan adalah momentum atas keadilan global, bukan Amerika Serikat atau Rusia atau China atau Britania Raya atau Perancis. Kedua, upaya yang berkelanjutan harus dilakukan untuk menghasilkan bentuk-bentuk baru legitimasi politik global bagi institusi-institusi internasional yang terlibat dalam terciptanya keamanan dan perdamaian dunia. Hal tersebut mencakup hukuman atas pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis dan dimanapun hal itu terjadi serta pembentukan tipe ekonomi politik baru dan akuntabilitas. Hal tersebut bukan berarti salah satu pihak mengambil momentum untuk menjadi pahlawan bagi perdamaian dan perlindungan hak asasi manusia. Dan akhirnya harus ada polarisasi global atas kemakmuran, pendapatan dan kekuasaan yang berhubungan langsung dengan kesempatan hidup.[15]

Kesimpulannya adalah bahwa perlu adanya perubahan cara pandang yang signifikan dalam upaya untuk mengatasi berbagai masalah tersebut. Sebagai seorang institutionalis, Held beranggapan bahwa institusi internasional memiliki peran yang sangat besar dalam menentukan perubahan tersebut.

Held berasumsi bahwa berbagai institusi internasional saat ini (terutama PBB) berada pada kondisi yang sangat tidak ideal. Institusi internasional tidak lagi menjadi representasi dari berbagai kepentingan negara-negara anggotanya. Institusi internasional saat ini cenderung menjadi kepanjangan tangan dari negara-negara dengan power besar. Oleh karenanya, menurut Held, sebelum dilakukan perubahan atas cara pandang dalam mengatasi permasalahan global maka institusi internasional harus melakukan perubahan sebagai langkah awal.[16]


[1] David Held merupakan seorang teoritis asal Britania Raya dan merupakan tokoh penting dalam studi hubungan internasional. Bersama Daniele Archibugi, dia merupakan tokoh kunci dalam pengembangan kosmopolitanisme khususnya demokrasi kosmopolitan. Kajiannya berada dalam studi globalisasi dan pemerintahan global. Karyanya antara lain “Cultural Politics in Global Age: Uncertainty, Solidarity, and Innovation” dan “Globalization theory : approaches and controversies”.

[2] David Held dan Kevin Young. “The Principles of Effective Global Governance: Participation, Social Justice and Sustainability” dalam http://www.feps-europe.eu/fileadmin/downloads/globalisation/0902_FEPS_HeldYoung.pdf diakses tanggal 2 Maret 2010.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] Ibid.

[9] Ibid.

[10] Ibid.

[11] Ibid.

[12] Ibid.

[13] Ibid.

[14] Ibid.

[15] Ibid.

[16] Ibid.

Sebenarnya Teori Pilihan Rasional diadopsi oleh ilmuwan politik dari ilmu ekonomi. Karena didalam ilmu ekonomi menekankan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal ini senada dengan perilaku politik yaitu seseorang memutuskan memilih kandidat tertentu setelah mempertimbangkan untung ruginya sejauh mana program-program yang disodorkan oleh kandidat tersebut akan menguntungkan dirinya, atau sebaliknya malah merugikan. Para pemilih akan cenderung memilih kandidat yang kerugiannya paling minim. Dalam konteks teori semacam itu, sikap dan pilihan politik tokoh-tokoh populer tidak selalu diikuti oleh para pengikutnya kalau ternyata secara rasional tidak menguntungkan. Beberapa indikator yang biasa dipakai oleh para pemilih untuk menilai seorang kandidat khususnya bagi pejabat yang hendak mencalonkan kembali, diantaranya kualitas, kompetensi, dan integrasi kandidat.

Sementara itu Ramlan Surbakti dan Dennis Kavanaagh[1] menyatakan bahwa pilihan rasional melihat kegiatan perilaku memilih sebagai produk kalkulasi antara untung dan rugi. Ini disebabkan karena pemilih tidak hanya mempertimbangkan ongkos memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi juga perbedaan dari alternatif-alternatif berupa pilihan yang ada. Pemilih di dalam pendekatan ini diasumsikan memiliki motivasi, prinsip, pendidikan, pengetahuan, dan informasi yang cukup. Pilihan politik yang mereka ambil dalam pemilu bukanlah karena faktor kebetulan atau kebiasan melainkan menurut pemikiran dan pertimbangan yang logis. Berdasarkan informasi, pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki pemilih memutuskan harus menentukan pilihannya dengan pertimbangan untung dan ruginya untuk menetapkan pilihan atas alternatif-alternatif yang ada kepada pilihan yang terbaik dan yang paling menguntungkan baik untuk kepentingan sendiri (self interest) maupun untuk kepentingan umum.

Sehingga pada kenyataannnya, terdapat sebagian pemilih yang mengubah pilihan politiknya dari satu pemilu ke pemilu lainnya. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa terdapat variabel-variabel lain yaitu faktor situasional yang juga turut mempengaruhi pemilih ketika menentukan pilihan politiknya pada pemilu. Hal ini disebabkan seorang pemilih tidak hanya pasif, terbelenggu oleh karakteristik sosiologis dan faktor psikologis akan tetapi merupakan individu yang aktif dan bebas bertindak. Menurut teori rasional, faktor-faktor situasional berupa isu-isu politik dan kandidat yang dicalonkan memiliki peranan yang penting dalam menentukan dan merubah referensi pilihan politik seorang pemilih karena melalui penilaian terhadap isu-isu politik dan kandidat dengan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang rasional, seorang pemilih akan dibimbing untuk menentukan pilihan politiknya. Orientasi isu berpusat pada pertanyaan apa yang seharusnya dilakukan dalam memecahkan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara. Sementara orientasi kandidat mengacu pada persepsi dan sikap seorang pemilih terhadap kepribadian kandidat tanpa memperdulikan label partai yang mengusung kandidat tersebut.

Pengaruh isu yang ditawarkan bersifat situasional (tidak permanent/berubah-ubah) terkait erat dengan peristiwa-peristiwa sosial, ekonomi, politik, hukum, dan keamanan khususnya yang kontekstual dan dramatis. Sementara itu dalam menilai seorang kandidat menurut Him Melweit, terdapat dua variabel yang harus dimiliki oleh seorang kandidat. Variabel pertama adalah kualitas instrumental yaitu tindakan yang diyakini pemilih akan direalisasikan oleh kandidat apabila ia kelak menang dalan pemilu. Variabel kedua adalah kualitas simbolis yaitu kualitas keperbadian kandidat yang berkaitan dengan integrasi diri, ketegasan, kejujuran, kewibawaan, kepedulian, ketaatan pada norma dan aturan dan sebagainya.

Pendapat Ramlan Surbakti dan Him Melweit tersebut senada dengan apa yang dikemukakan oleh Dan Nimmo[2] dalam bukunya Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek yang mengatakan bahwa:

Pemberi suara yang rasional pada hakikatnya aksional diri, yaitu sifat yang intrinsik pada setiap karakter personal pemberi suara yang turut memutuskan pemberian suara pada kebanyakan warganegara. Orang yang rasional :

  1. Selalu dapat mengambil keputusan bila dihadapkan pada alternatif
  2. Memilah alternatif-alternatif sehingga masing-masing apakah lebih disukai, sama saja atau lebih rendah bila dibandingkan dengan alternatif yang lain
  3. Menyusun alternatif-alternatif dengan cara yang transitif; jika A lebih disukai daripada B, dan B daripada C, maka A lebih disukai daripada C
  4. Selalu memilih alternatif yang peringkat preferensi paling tinggi dan
  5. Selalu mengambil putusan yang sama bila dihadapkan pada alternatif-alternatif yang sama, dan bahwa pemberi suara rasional selalu dapat mengambil keputusan apabila dihadapkan pada altenatif dengan memilah alternatif itu, yang lebih disukai, sama atau lebih rendah dari alternatif yang lain, menyusunnya dan kemudian memilih dari alternatif-alternatif tersebut yang peringkat preferensinya paling tinggi dan selalu mengambil keputusan yang sama apabila dihadapkan pada alternatif-alternatif yang sama.

Penerapan teori rational choice dalam ilmu politik salah satunya adalah untuk menjelaskan perilaku memilih suatu masyarakat terhadap tokoh atau partai tertentu dalam konteks pemilu. Teori pilihan rasional sangat cocok untuk menjelaskan variasi perilaku memilih pada suatu kelompok yang secara psikologis memiliki persamaan karakteristik. Pergeseran pilihan dari satu pemilu ke pemilu yang lain dari orang yang sama dan status sosial yang sama tidak dapat dijelaskan melalui pendekatan sosiologis maupun psikologis. Dua pendekatan terakhir tersebut menempatkan pemilih pada situasi dimana mereka tidak mempunyai kehendak bebas karena ruang geraknya ditentukan oleh posisi individu dalam lapisan sosialnya. Sedangkan dalam pendekatan rasional yang menghasilkan pilihan rasional pula terdapat faktor-faktor situasional yang ikut berperan dalam mempengaruhi pilihan politik seseorang, misalnya faktor isu-isu politik ataupun kandidat yang dicalonkan. Dengan demikian muncul asumsi bahwa para pemilih mempunyai kemampuan untuk menilai isu-isu politik tersebut. dengan kata lain pemilih dapat menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional.

Individu sebagai penyokong legitimasi sistem pemilihan demokratis adalah seorang warga negara yang memiliki kemampuan untuk mengetahui konsekwensi dari pilihannya. Kehendak rakyat merupakan perwujudan dari seluruh pilihan rasional individu yang dikumpulkan (public choice). Dalam konteks pemilu di Australia, istilah public digunakan untuk mewakili masyarakat Australia yang terdiri dari individu-individu dengan keanekaragaman karakteristiknya. Mereka bertindak sebagai responden dalam pemilu yang masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk melakukan pilihan politik. Public choice dalam konteks pemilu sangat penting artinya bagi kelangsungan roda pemerintahan di suatu negara. Bagaimana agenda politik dalam suatu negara itu disusun, tergantung dari pilihan masyarakat terhadap agenda yang ditawarkan melalui pemilihan umum.

Akan tetapi yang menjadi permasalahan dari pilihan kolektif semacam ini adalah bagaimana mengkombinasikan berbagai macam prefensi individu-individu kedalam sebuah kebijakan yang akan diterima secara luas oleh masyarakat.[3] Terkait dengan hal tersebut, pemilu digunakan sebagai sarana untuk menentukan suara terbesar dari masyarakat, karena hanya pilihan mayoritaslah yang akan mendominasi arah politik suatu negara. Disamping itu, dalam perannya sebagai individu yang independen, manusia akan selalu mengejar seluruh kepentingannya dengan maksimal dan membuat pilihan-pilihan yang sulit untuk diwujudkan oleh pemerintah di negaranya, akan tetapi dalam peran manusia sebagai anggota sebuah komunitas atau masyarakat, hal itu tidak berlaku.

Buchanan dan Tullock mengajarkan bahwa dalam menentukan suatu public choice, terdapat aspek-aspek yang lebih daripada sekedar memenuhi peraturan politik pemerintah dalam pemilu. Aspek-aspek tersebut meliputi pilihan-pilihan untuk membuat suatu keputusan sosial dengan mempertimbangkan lembaga-lembaga perekonomian yang bebas dari campur tangan pemerintah, disamping mekanisme pemerintahan lain yang terpusat dalam suatu negara dan lembaga-lembaga yang menggabungkan antara sektor publik dan sektor privat. Lebih lanjut Buchanan dan Tullock menyatakan bahwa untuk menghasilkan keputusan sosial tersebut dibutuhkan adanya integrasi antara politik dan ekonomi. Integrasi tersebut akan sangat berguna untuk memahami hal-hal seperti mengapa pemerintah melakukan pengaturan terhadap sistem pasar, redistribusi terhadap kekayaan, serta bagaimana kekuatan pasar dapat mempengaruhi tujuan-tujuan politik. Semua segi-segi ekonomi dan politik tersebut hanya dapat dipahami jika kita memandangnya dari perspektif teori yang sama.[4]

Tidak semua pilihan menggunakan prinsip-prinsip rasionalitas didalam menentukan pilihannya. Pemilih yang berprinsip rasional lebih banyak ditemukan pada orang-orang yang bermukim didaerah urban. Tingkat pendidikan yang membawa serta pemahaman akan politik mempunyai korelasi positif terhadap perilaku pemilih yang semakin rasional. Penduduk yang bermukim di negara-negara maju berat, seperti Australia terkenal memiliki tingkat pendidikan yang sangat tinggi, hal itu dapat dilihat dari tingkat buta huruf yang sangat minim.

Oleh karena itu menurut Saiful Mujani[5], seorang pemilih akan cenderung memilih parpol atau kandidat yang berkuasa di pemerintahan dalam pemilu apabila merasa keadaan ekonomi rumah tangga pemilih tersebut atau ekonomi nasional pada saat itu lebih baik dibandingkan dari tahun sebelumnya, sebaliknya pemilih akan menghukumnya dengan tidak memilih jika keadaan ekonomi rumah tangga dan nasional tidak lebih baik atau menjadi lebih buruk. Pertimbangan ini tidak hanya terbatas pada kehidupan ekonomi, melainkan juga kehidupan politik, sosial, hukum dan keamanan. Menurutnya dalam mengevaluasi kinerja pemerintah, media massa terutama yang massif seperti televisi memiliki peranan yang sangat menentukan. Melalui informasi yang berasal dari media massa, seorang pemilih dapat menilai apakah kinerja pemerintah sudah maksimal atau malah jalan ditempat.


[1] Dennis Kavanagh, Political Science and Political Behavior, dalam FS Swartono, dan Ramlan Surbakti, 1992, Memahami Ilmu Politik, PT Gramedia Widiasarana, Jakarta, hal.146

[2] Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek, CV. Remaja Karya, Bandung, hal 148

[3] James Q. Wilson, New Politics, New Ellites, Old Publics, dalam Marc K. Landy dan Martin A. Levin, The New Politics of Public Policy, The Johns Hopkins University Press, London, 1995, hal 263, dalam skripsi  Dani Tri Anggoro, Kemenangan Tony Blair dalam Pemilu Inggris 2005,Unej, 2006,hal 11- 14

[4] Peter C. Ordeshook, The Emerging Discipline of Political Economy, dalam James E. Alf dan Kenneth A. Shelpse, Perspective on Positive Political Economy, Cambridge University Press, Melbourne, 1990, hal.15. dalam skripsi  Dani Tri Anggoro, Kemenangan Tony Blair dalam Pemilu Inggris 2005,Unej, 2006,hal 14

[5] Saiful Mujani, Penjelasan Aliran dan Kelas Sosial sudah tidak memadai, dalam http://islamlib.com?page.php?page=article&id=703

Legitimasi Kekuasaan.[1]

Kekuasaan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain sehingga orang lain menjadi sesuai dengan yang diinginkan oleh orang yang memiliki kekuasaan tersebut.[2] Namun dalam mempelajari kehidupan politik, kekuasaan tidak hanya sebagai kemampuan untuk mempengaruhi orang lain akan tetapi juga dipandang sebagai kemampuan untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijaksanaan yang mengikat seluruh anggota masyarakat. Suatu kekuasaan akan memunculkan sebuah kewenangan. Laswell dan Kaplan menyatakan bahwa wewenang (authority) merupakan sebuah kekuasaan formal, atau dengan kata lain wewenang merupakan kekuasaan yang memiliki keabsahan atau legitimasi.

Kewenangan seseorang belum lengkap jika seseorang belum mendapatkan legitimasi. Legitimasi merupakan penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral pemimpin untuk memerintah, membuat, dan melaksanakan keputusan politik.  Secara garis besar legitimasi merupakan hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin, hubungan itu lebih ditentukan oleh yang dipimpin karena penerimaan dan pengakuan atas kewenangan hanya berasal dari yang diperintah.

Secara umum alasan utama mengapa legitimasi menjadi penting bagi pemimpin pemerintahan.[3] Pertama, legitimasi akan mendatangkan kestabilan politik dari kemungkinan-kemungkinan untuk perubahan sosial. Pengakuan dan dukungan masyarakat terhadap pihak yang berwenang akan menciptakan pemerintahan yang stabil sehingga pemerintah dapat membuat dan melaksanakan keputusan yang menguntungkan masyarakat umum. Pemerintah yang memiliki legitimasi akan lebih mudah mengatasi permasalahan daripada pemerintah yang kurang mendapatkan legitimasi.

Adanya pengakuan seseorang terhadap keunggulan orang lain pada hakekatnya menunjukkan adanya keabsahan atas keunggulan yang dimiliki fihak yang disebut belakangan. Pengakuan tersebut murni diperlukan karena tanpa adanya pengakuan tersebut, maka keunggulan yang dimiliki seseorang tidak mempunyai makna apapun. Menurut Gaetano Mosca, pengakuan terhadap keberadaan elit yang dapat dinyatakan sebagai suatu legitimasi ini diistilahkan sebagai suatu ‘political formula’ yang maksudnya adalah terdapatnya suatu keyakinan yang menunjukkan mengapa ‘the rullers’ dipatuhi kepemimpinannya.[4]

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Max Weber menyatakan pendapatnya bahwa terdapat tiga macam ‘legitimate domination yang menunjukkan dalam kondisi seperti apa sehingga seseorang atau sekelompok orang mampu mendominasi sejumlah besar orang lainnya.[5] Ketiga macam legitimate domination tersebut adalah: (a) traditional domination, (b) charismatic domination, dan (c) legal-rational domination.

  1. a.      Traditional Domination (Dominasi Tradisional)

Dominasi ini mendasarkan pada tradisi yang ada dan berlaku di tengah-tengah masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian legitimasi yang diperoleh elit tentu saja didasarkan pada tradisi yang ada dan berlaku. Dalam dominasi tradisional dapat diketemukan massa dengan kepercayaan yang mapan terhadap kesucian tradisi yang ada. Sehingga pada gilirannya individu-individu yang terpilih sebagai pemimpin yang berkuasa bukan dilihat dari kharisma atau kemampuan yang dimilikinya, tetapi semata-mata atas dasar kesepakatan bersama anggota-anggota masyarakat yang sudah mentradisi.

Dalam dominasi tradisional ini hubungan yang terjadi antara elit dan massa tidak jarang merupakan sebuah hubungan yang lebih bernuansa personal. Kesempatan massa untuk direkrut sebagai staf administrasi dilihat berdasarkan pada pertimbangan loyalitas pribadi bukan berdasarkan kemampuan yang dimiliki. Hal ini menunjukkan bahwa massa mempunyai kesetian yang tinggi terhadap penguasa, dan sebaliknya penguasa juga mempunyai kewajiban untuk memenuhi segala kebutuhan massa. Akan tetapi walaupun terdapat ikatan yang sangat kuat antara massa dan elit penguasa, masih saja terdapat keleluasaan bagi penguasa secara pribadi mempergunakan otoritasnya sesuai dengan kehendaknya.

  1. b.      Charismatic Domination (Dominasi Karismatik)

Merupakan dominasi yang mendasarkan pada kharisma yang melekat pada diri seseorang. Perihal kharisma, Weber memberi pengertian sebagai “suatu sifat tertentu dari suatu kepribadian seorang individu berdasarkan mana orang itu dianggap luar biasa dan diperlakukan sebagai seseorang yang mempunyai sifat unggul atau paling sedikit dengan kekuatan-kekuatan yang khas dan luar biasa”.[6] Elit atau penguasa yang kemunculannya didasarkan pada kharisma yang dimiliki, pada umumnya akan berupaya menunjukkan bukti tentang keelitannya dengan cara menunjukkan kemampuannya untuk melakukan hal-hal yang tidak mampu dilakukan oleh orang awam, pada umumnya merupakan hal-hal yang bersifat ajaib. Semakin mampu seorang individu menunjukkan bukti-bukti yang hebat dan relatif langka, maka akan semakin tinggi pula legitimasi yang akan diperolehnya sebagai elit yang berkuasa.

  1. c.       Legal-Rational Domination

Dominasi ini pada hakekatnya didasarkan pada kesepakatan anggota masyarakat terhadap seperangkat peraturan yang diundangkan secara resmi. Individu yang berperan sebagai elit di masyarakat yang memberlakukan dominasi tipe ini diakui keberadaanya atas kemampuan yang dimilikinya dan persyaratan menurut peraturan yang berlaku. Demikian pula dengan seleksi bagi individu-individu yang dapat menduduki posisi elit ini juga diatur secara tegas oleh peraturan yang secara resmi berlaku. Persyaratan-persyaratan yang diajukan untuk menduduki posisi tertentu belum tentu sama dengan posisi lain yang dibutuhkan, karena semakin tinggi posisi yang dituju, persyaratan yang harus dipenuhi juga semakin tinggi pula begitu pula dengan kemampuan yang dimiliki juga harus semakin besar. Sebagai akibat dari kesepakatan-kesepakatan tersebut, maka individu-individu yang tidak memiliki kemampuan akan sulit untuk dapat menduduki posisi tertentu sebagai elit. Hanya individu-individu yang mempunyai kemampuan dan dipandang telah memenuhi persyaratan yang bisa mendapatkan legitimasi.

Tipe-tipe legitimasi sebagaimana dipaparkan diatas, pada tataran realita masyarakat biasanya tidak berjalan sendiri-sendiri, artinya dimungkinkan lebih dari satu tipe legitimasi diterapkan di suatu masyarakat.

Menurut Charles Andrain terdapat lima obyek dalam sistem politik yang memerlukan legitimasi agar suatu sistem politik tetap berlangsung dan fungsional,[7] yaitu : masyarakat (komunitas) politik, hukum, lembaga politik, pemimpin politik, dan kebijakan.

Yang dimaksud dengan legitimasi terhadap komunitas politik adalah kesediaan para anggota masyarakat dari berbagai kelompok yang berbeda latar belakang untuk membentuk suatu komunitas. Apabila komunitas tersebut melakukan berbagai perlawanan dan ingin membentuk masyarakat baru (separatisme) maka legitimasi terhadap komunitas politik dianggap masih sangat rendah. Sehingga legitimasi terhadap hukum, lembaga politik, pemimpin politik dan kebijakan politik juga dianggap rendah.

Kurangnya dukungan terhadap komunitas politik akan menyebabkan masalah dalam penciptaan identitas masyarakat atau disebut juga krisis identitas. Sedangkan kurangnya dukungan terhadap hukum yang berlaku maka masyarakat akan mengalami krisis konstitusi. Manakala dukungan terhadap lembaga politik semakin menurun maka akan terjadi krisis kelembagaan. Krisis kepemimpinan akan terjadi pada masyarakat yang tidak mempercayai legitimasi para pemimpin politik, sehingga mempengaruhi kebijakan pemimpin yang menimbulkan krisis kebijakan. Dengan demikian sistem politik akan menghadapi krisis legitimasi.

Krisis legitimasi dapat terjadi karena beberapa prinsip,[8] yaitu :

  1. kewenangan beralih pada prinsip yang lain, artinya kewenangan yang selama ini digunakan tidak lagi diakui oleh masyarakat, masyarakat telah menemukan prinsip kewenangan yang dianggap lebih baik, sehingga pemimpin yang mendasari diri dengan kewenangan yang lama tidak akan mendapatkan dukungan lagi dari masyarakat.
  2. Terjadi persaingan yang tajam dan tidak sehat diantara elit yang berkuasa, sehingga terjadi perpecahan dalam tubuh pemerintahan.
  3. Pemerintah tidak dapat memenuhi janjinya sehingga menimbulkan keresahan dan kekecewaan di masyarakat dan berimbas pada memudarnya dukungan kepada pemerintah.
  4. Sosialisasi kewenangan mengalami perubahan.


[1]      Haryanto, Kekuasaan Elit : Suatu Bahasan Pengantar. (Yogyakarta : Fisipol Universitas Gadjah Mada, 2005), hal.2

[2]      Ibid.,hal 3

[3]      Ibid.,hal.98

[4]      Mark N. Hagopian, Regimes, Movements and Ideologies, dalam Haryanto, Kekuasaan Elit : Suatu Bahasan Pengantar. (Yogyakarta : Fisipol Universitas Gadjah Mada, 2005), hal.145

[5]      Max Weber, Legitimate Domination, dalam Haryanto, Ibid., hal.145-146

[6]      Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, (Jakarta: UI Press, 1986). hal. 192-193

[7]      Charles Andrain, Political Life and Social Change : An Introduction to Political Science, (California : Wadworth Publishing Company Inc. 1970), hal.213-216

[8]      Haryanto, Kekuasaan Elit : Suatu Bahasan Pengantar, (Yogyakarta : Jurnal Ilmu Politik Universitas Gajah Mada. 2005 ) hal. 160-161

Legitimasi

Posted: November 22, 2011 in partai politik, pemilihan presiden

Legitimasi dianggap penting bagi pemimpin pemerintahan, karena para pemimpin pemerintahan dari setiap sistem politik berupaya keras untuk mendapatkan atau mempertahankannya. Dengan adanya legitimasi yang dimiliki oleh seorang pemimpin dapat menimbulkan kestabilan politik dan memungkinkan terjadinya perubahan sosial dan membuka kesempatan yang semakin besar bagi pemerintah untuk tidak hanya memperluas bidang-bidang kesejahteraan yang hendak ditangani, tetapi juga untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan.

Seperti halnya konsep kekuasaan dan kewenangan, legitimasi juga merupakan konsep yang menimbulkan hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin. Legitimasi dapat diartikan dalam arti luas dan arti sempit, dalam arti luas adalah dukungan masyarakat terhadap sistem politik, sedangkan dalam arti sempit merupakan dukungan masyarakat terhadap pemerintah yang berwenang. Antara kekuasaan normatif dan kualitas pribadi berkaitan erat dengan legitimasi.[1]

Legitimasi juga merupakan suatu tindakan perbuatan hukum yang berlaku, atau peraturan yang ada, baik peraturan hukum formal, etnis, adat-istiadat, maupun hukum kemasyarakatan yang sudah lama tercipta secara sah.[2] Jadi, dalam legitimasi kekuasaan, bila seorang pemimpin menduduki jabatan dan memiliki kekuasaan secara legitimasi (legitimate power) adalah bila yang bersangkutan dianggap absah memangku jabatannya dan menjalankan kekuasaannya.

Adapun cara-cara yang digunakan untuk mendapatkan dan mempertahankan legitimasi dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu:

  1. Simbolis yaitu dengan cara menumbuhkan kepercayaan terhadap masyarakat dalam bentuk simbol-simbol seperti kepribadian yang baik, menjunjung tinggi nilai- budaya dan tradisi.
  2. Prosedural yaitu menjanjikan kesejahteraan materiil kepada rakyat, seperti fasilitas pendidikan dan kesehatan lebih baik,  kesempatan kerja lebih besar, dan menjamin tersedianya pangan yang dibutuhkan rakyat.
  3. Materiil yaitu dengan cara mengadakan pemilihan umum untuk menentukan para wakil rakyat, perdana menteri, presiden, dan sebagainya. Para anggota lembaga tinggi negara atau referendum untuk mengesahkan suatu kebijakan umum. [3]

Pada umumnya, pemimpin pemerintahan yang mendapatkan legitimasi berdasarkan prinsip-prinsip legitimasi tradisional, ideologi, dan kualitas pribadi cenderung menggunakan metode simbolik.

Berdasarkan prinsip pengakuan dan dukungan masyarakat terhadap pemerintah maka legitimasi dikelompokkan menjadi lima tipe yaitu:

  1. Legitimasi Tradisional adalah rakyat memberikan dukungan dan pengakuan terhadap pemerintah karena berasal dari keluarga kaya yang dipercaya harus memimpin rakyat.
  2. Legitimasi Ideologi adalah memberikan dukungan dan pengakuan terhadap pemimpin karena pemimpin tersebut dianggap dapat melaksanakan ideologi dengan baik.
  3. Legitimasi Kualitas Pribadi adalah diberikannya pengakuan dan dukungan dari rakyat kepada pemimpin karena memiliki kualitas pribadi yang baik, seperti prestasi cemerlang dan penampilan pribadi.
  4. Legitimasi Prosedural adalah rakyat memberikan dukungan dan pengakuan kepada pemimpin pemerintahan karena pemimpin tersebut mendapatkan haknya melalui jalur hukum yang benar.
  5. Legitimasi Instrumental adalah rakyat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemimpin pemerintahan karena pemimipin tersebut menjanjikan atau menjamin kesejahteraan materiil kepada rakyat. [4]

 

Dalam kehidupan nyata biasanya para pemimpin pemerintahan tidak hanya menggunakan satu tipe, tetapi juga mengkombinasikan dari dua tipe atau lebih sesuai dengan struktur dan tingkat perkembangan masyarakatnya.

 


[1] Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik,(PT. Gramedia, Jakarta, 1992), hal. 92

[2] Inu Kencana, Ilmu Politik, (Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2000), hal. 52

[3] Surbakti, Op.cit. hal. 96

[4] Surbakti, op.cit. hal 97-98

Koalisi

Posted: November 22, 2011 in partai politik, pemilihan presiden

Koalisi berperan untuk memperkecil ketidakpastian pemilih dalam memilih kandidat presiden dalam pemilihan umum, juga sebagai alat politik yang tepat, sebab adanya koalisi partai maka akan mempermudah kemenangan bagi salah satu kandidat presiden karena memperoleh dukungan yang lebih banyak.

Konsep koalisi menurut David E. Apter, adalah:

“…sekumpulan individu atau kelompok yang tergabung menjadi satu dengan membawa misi atau kepentingannya sendiri-sendiri yang tersamarkan dalam kepentingan bersama, tetapi koalisi ini terpecah bila sudah mencapai tujuan bersama (koalisi) dan sudah dikaitkan dengan distribusi kekuasaan, karena bagaimanapun individu atau kelompok pendukung koalisi itu akan mempertahankan dominasinya dalam koalisi tersebut.”[1]

Koalisi partai merupakan persekutuan partai, gabungan atau aliansi beberapa unsur partai, di mana dalam kerjasamanya, masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri.[2] Dalam pemerintahan dengan sistem parlementer, sebuah pemerintahan koalisi adalah sebuah pemerintahan yang tersusun dari koalisi beberapa partai. Koalisi terbentuk dan bertahan lama, jika berbagai partai bersedia untuk bertindak berdasarkan kepentingan tujuan bersama yang kuat.[3]

Secara teoritis, koalisi partai hanya akan berjalan dengan landasan pemikiran yang realistis dan layak.[4] Dasar pertimbangan ini menuntut kesediaan partai dan para pendukungnya untuk menyadari bahwa koalisi bukan sekedar mencari teman, akan tetapi koalisi mengajarkan bahwa tidak semua partai layak untuk dijadikan anggota rekanan dalam pembentukan kabinet koalisi. Hanya partai-partai tertentu dapat menciptakan koalisi yang efektif dan kondusif bagi kelanjutan dan perkembangan di suatu negara dan juga dalam sistem partai.[5]

Koalisi partai tersebut membantu mengurangi ketidakpastian siapa yang akan menang dalam pemilihan presiden, hal ini dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa dukungan terhadap partai politik sering terkait erat dengan dukungan terhadap calon presiden dari partai bersangkutan. Untuk seorang calon presiden diperlukan, mengingat kecilnya peluang seorang calon presiden dari sebuah partai mendapat suara mutlak dalam pemilu.[6] Apalagi, dalam sistem pemilihan presiden seseorang dicalonkan untuk jabatan presiden oleh partai politik.

Partai politik setidaknya membantu mengurangi tingkat kesulitan memperkirakan perilaku pemilih terhadap calon-calon presiden yang akan bersaing.[7] Di samping itu, partai politik adalah mesin politik yang memiliki mobilisasi massa paling sistematis. Karena itu, koalisi antarpartai politik diharapkan berperan sebagai mesin politik besar untuk memobilisasi massa pemilih presiden yang dicalonkan. Tidak ada organisasi sosial-politik yang punya kemampuan mobilisasi massa secara nasional sebesar partai politik. Sebuah koalisi partai dapat terjadi oleh banyak faktor, di antaranya karena adanya kesamaan platform di antara partai yang akan berkoalisi tersebut.[8]

Platform yang dimaksud termasuk dalam masalah agama, politik, pendidikan, dan ekonomi. Koalisi juga bisa dibangun atas dasar kepentingan politik murni, yakni untuk mendapatkan jabatan publik strategis dan kemudian membagi-baginya di antara sesama peserta koalisi. Persamaan platform tersebut dapat menjadi faktor yang menentukan kenapa dua partai atau lebih membangun sebuah koalisi, sementara partai lainnya tidak bergabung dengan koalisi tersebut.[9]


[1] Apter, David E, Pengantar Analisa Politik (Jakarta, LP3ES, 1988), hal. 346

[2] Coalition Government, http://www.kellogg.northwestern.edu/faculty/diermeier/papers/diermeier.final.pdf Diakses pada tanggal 10 Oktober 2008

[3] Charles A. McClelland, Ilmu Hubungan Internasional Teori dan Sistem, (Jakarta, PT.Rajawali, 2003), hal.104

[4] Bambang cipto, Partai Kekuasaan dan Militerisme, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000), hal. 22

[5] ibid

[6] Koalisasi Partai untuk Presiden, http://www.freedominstitute.org/id/index.php?page=profil&detail=artikel&detail=dir&id=150 Diakses pada tanggal4 September 2008

[7] Koalisi untuk indonesia sehat, http://209.85.175.104/search?q=cache:tZK9nCDGQ9YJ:www.koalisi.org/+koalisi&hl=id&ct=clnk&cd=1&gl=id Diakses pada tanggal4 September 2008

[8] Masa Depan Ada Di Tengah: Toolbox Manajemen Koalisi, http://forumpolitisi.org/pusat_data/umum/article.php?id=702 Diakses pada tanggal4 September 2008

[9] Membangun Koalisi Partai Politik, http://www.salakanagara.org/_/articles/membangun-koalisi-partai-politik/ diakses pada tanggal4 September 2008